Sabtu, 08 Oktober 2011

Antara Wahabi dan Isu Terorisme


Republika, Jumat, 07 Oktober 2011 pukul 11:05:00


Antara Wahabi dan Isu Terorisme


(Tanggapan untuk Tulisan KH Said Aqil Siradj)

Ole
h Artawijaya
Wartawan dan Penulis Buku

Pascaserangan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, perbincangan mengenai kaitan antara terorisme dan doktrin Wahabi kembali mencuat di media massa. Setidaknya, hal itu tecermin dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, pada harian ini (3/10/2011). Artikel berjudul "Radikalisme, Hukum, dan Dakwah" ini menarik untuk dicermati karena Kiai Said telah mengaitkan antara pergerakan dakwah Wahabi dan radikalisme. Beliau bahkan membuat istilah baru tentang dakwah Wahabi, yaitu "ideologi puritanisme radikal".

Kita tentu bersyukur seorang ketua umum sebuah organisasi massa besar seperti KH Said Aqil Siradj begitu peduli terhadap teror bom yang banyak menimbulkan korban dari masyarakat yang tak bersalah. Bahkan, sebenarnya bukan hanya KH Said Aqil Siradj, tokoh yang sering dikait-kaitkan dengan kasus terorisme, seperti Ustaz Abu Bakar Ba'asyir (ABB), pun mengecam aksi bom di Cirebon dan Solo sebagai tindakan ngawur yang jauh dari pemahaman syariat. Pada beberapa kesempatan, ABB menyatakan bahwa Indonesia adalah wilayah aman yang karenanya Islam harus ditegakkan lewat cara-cara damai.

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari artikel Kiai Said di atas, yang terkesan seperti menabur angin, mengenai siapa saja yang dianggap sebagai Wahabi. Dalam beberapa alineanya, artikel tersebut bahkan seperti mengumbar stigma yang gebyah uyah. Jika tak dikritisi, tulisan tersebut bisa menimbulkan ragam penafsiran di masyarakat dan generalisasi terhadap kelompok yang dituduh mengusung dakwah Wahabi. Dengan demikian, hal ini bisa berpotensi memicu konflik sosial di akar rumput sebagaimana terjadi pada sebuah pengajian hadis di Klaten, Jawa Tengah, yang nyaris dipaksa bubar karena dianggap bagian dari dakwah Wahabi.

Di antara kalimat yang bisa menimbulkan bias pemahaman dan stigma dari tulisan KH Said Aqil adalah, "Kita bisa mencermati pergerakan paham Wahabi di negeri kita yang secara mengendap-endap telah memasuki wilayah pendidikan dengan menyuntikkan ideologi puritanisme radikal, semisal penyesatan terhadap kelompok lain hanya karena soal beda masalah ibadah lainnya. Di berbagai daerah, bahkan sudah terjadi 'tawuran' akibat model dakwah Wahabi yang tak menghargai perbedaan pandangan antar-Muslim. Model dakwah semacam ini bisa berpotensi menjadi 'cikal bakal' radikalisme."

Pada alinea lain, KH Said Aqil mengusulkan agar dilakukan "sterilisasi" masjid-masjid yang berpotensi menjadi sarang kelompok puritan radikal, sebuah kelompok yang menurutnya sering kali menimbulkan "tawuran" di tengah masyarakat. Dalam kesempatan lain, KH Said Aqil bahkan meminta masyarakat untuk mewaspadai 12 yayasan dari Timur Tengah yang diduga mendapat suntikan dana dari kelompok Wahabi. Tulisan KH Said Aqil Siradj yang dimuat dalam harian ini seolah menyatakan bahwa memerangi ideologi teror sama dengan memerangi ideologi puritan radikal yang diusung oleh kelompok yang ia sebut sebagai Wahabi. Kelompok yang saat ini, menurutnya, mengendap-endap di dunia pendidikan, membawa suntikan beracun berisi "ideologi puritan radikal".

Antara Wahabi dan terorisme

Stigma Wahabi merujuk pada sosok ulama abad ke-18 bernama Syekh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimy an-Najdi. Gerakan dakwahnya mengusung tajdid dan tashfiyah (pembaruan dan pemurnian) akidah kaum Muslimin dari beragam kemusyrikan dan amaliah yang tidak diajarkan oleh Islam. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang dai yang tak pernah menyebut kiprah dakwahnya dengan penamaan dakwah Wahabi atau tak pernah mendirikan organisasi dakwah bernama Wahabi. Istilah Wahabi baru muncul belakangan. Itu pun dengan tujuan stigmatisasi oleh mereka yang tak setuju dengan pemikiran yang diusung dalam dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab.

Di Indonesia, stigma Wahabi juga pernah dilekatkan pada ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis). Tokoh-tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, Syekh Ahmad Syurkati, A Hassan, dianggap sebagai pengusung paham Wahabi di Indonesia. Bahkan, jauh sebelum itu, pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol pun pernah disebut sebagai pengusung dakwah Wahabi. Baik Syekh Muhammad bin Abdul Wahab maupun generasi dakwah selanjutnya di seluruh dunia yang sepaham dengan pemikirannya tak pernah ada yang dengan tegas menyatakan dirinya sebagai Wahabi.

KH Said Aqil Siradj dalam tulisannya tak menjelaskan siapa saja atau kelompok mana saja yang masuk dalam kategori puritan radikal pengusung dakwah Wahabi. Ia hanya menjelaskan, kelompok tersebut tak menghargai perbedaan dan mudah memberikan label sesat pada sesama Muslim lainnya. Sama tak jelasnya ketika ia melontarkan pernyataan bahwa ada 12 yayasan milik Wahabi yang perlu diwaspadai yang kini beroperasi di Indonesia. Apa saja yayasan itu, mengapa perlu diwaspadai, adakah pelanggaran baik dari sisi hukum nasional ataupun hukum Islam dari 12 yayasan tersebut sehingga layak untuk diwaspadai, tak pernah dijabarkan. Sekali lagi, apa yang dilontarkan KH Said Aqil seperti menabur angin, menerpa siapa saja yang dianggap sebagai Wahabi.

Jika merujuk pada banyak kasus yang terjadi di basis-basis NU, kelompok puritan radikal atau Wahabi yang dimaksud KH Said Aqil adalah mereka yang membid'ahkan tahlilan, tawasul, ziarah kubur, Maulid Nabi, dan amaliah lainnya yang menjadi tradisi di kalangan Nahdliyin. Kriteria inilah yang sering diungkapkan oleh KH Said Aqil di media massa ketika menyoroti kiprah kelompok yang ia sebut sebagai Wahabi. Namun, adakah kaitannya antara kelompok yang berdakwah untuk menjauhi bid'ah dalam urusan ibadah dan kelompok teroris?

Nyatanya seluruh ormas Islam di Indonesia, baik yang meyakini bolehnya tahlilan maupun tidak, sepakat bahwa aksi pengeboman di zona damai adalah perbuatan yang diharamkan Islam, apalagi pengeboman yang terjadi di tempat ibadah. Bom yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan jihad tentu mencoreng nama Islam. Islam mengajarkan syariat jihad dengan batasan dan aturan yang ketat dan rinci. Jihad tidak mengedepankan hawa nafsu dan serampangan. Jihad sangat menghargai nilai-nilai dan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak sipil. Dalam perang, musuh yang menjadi target adalah para combatan dan basis-basis militer, bukan orang-orang sipil, fasilitas umum, dan tempat-tempat ibadah.

Akhirulkalam, menyebut dakwah Wahabi sebagai kontributor aksi teror bom tak pernah bisa dibuktikan dengan jelas. Stigmatisasi itu tak lebih daripada memukul bayang-bayang. Kita tentu tak sepakat dengan sekelompok orang yang mudah mengafirkan Muslim lainnya hanya karena urusan khilafiyah. Kita juga tak setuju dengan pola-pola dakwah yang eksklusif, merasa paling benar, dan jauh dari nilai-nilai akhlakul karimah. Jika ada perbedaan dalam urusan dakwah, selesaikan dengan jalan dialog. Begitupun jika terjadi perbedaan pendapat dalam hal furu'iyah, kedepankanlah sikap tasamuh (toleran). Stigmatisasi yang tak jelas di tengah prahara terorisme akan menambah beban masalah yang melebar ke mana-mana. Selain persoalan ideologi yang menyimpang, akar dari terorisme adalah ketidakadilan global yang melanda negeri-negeri Muslim.
(-)
Index Koran

PII Di Mata Umat


Republika, Sabtu, 08 Oktober 2011 pukul 11:02:00


PII di Mata Umat


(Catatan untuk Munas Perhimpunan KB PII)

Oleh Ali Rasyid
Mantan Fungsionaris PB PII
Kepala Biro Politik Bandung Intellectual Circle
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta



Salah satu organisasi senior yang masih memiliki napas adalah Pelajar Islam Indonesia (PII). Meski saat ini kurang terdengar lagi kiprahnya, PII telah cukup banyak menyumbang kadernya menjadi pemimpin di republik ini, mulai tingkat daerah hingga pusat. PII adalah organisasi kader yang memiliki target mencetak anggotanya memiliki kepribadian Muslim, menjadi insan cendekia, dan memiliki kecakapan memimpin.

PII lahir dua tahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada 4 Mei 1947, berbagai peristiwa politik PII telah menjadi bagian penting di dalamnya, mulai dari masa awal kemerdekaan sampai masa reformasi.

Sejak kelahirannya, PII sadar bahwa untuk memajukan sebuah peradaban bangsa, mesti memiliki sumber daya manusia unggul. Oleh karena itu, fokus garap dakwah PII adalah pendidikan dan kebudayaan, dua bidang yang dianggap paling strategis untuk membangun tatanan masyarakat yang beradab.

Kedua bidang ini kemudian dirumuskan menjadi tujuan organisasi, yakni kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia. Ini merupakan bentuk optimisme, cita-cita ideal, atau setidaknya impian PII bahwa pada masa depan, akan terbentuknya sistem pendidikan yang Islami, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga seluruh jagat raya. Salah satu ikhtiar PII mewujudkan impian tersebut adalah sikapnya yang konsisten melakukan kaderisasi, kaderisasi merupakan tulang punggung pembentukan kader di organisasi pelajar Islam yang independen ini.

Tantangan
Paparan singkat di atas merupakan dinamika dan catatan kecil keberhasilan PII dalam usahanya sebagai organisasi kader. Kini, catatan keberhasilan itu sulit diungkap, mungkin gerakan PII terlalu eksklusif, jangankan di masyarakat umum, di sekolah saja yang merupakan basis pengkaderannya, semakin tidak populer.

PII sebetulnya adalah organisasi moderat yang mestinya mampu membaca semangat zaman. Dulu, ketika pada masa awal kemerdekaan di mana dikotomi pelajar umum dan pelajar santri terjadi kesenjangan, PII mampu hadir sebagai pemersatu. Kini, ketika kehidupan pelajar semakin kompleks dan dikuasai oleh alam hedonisme, mestinya PII juga mampu tampil menjadi bagian penting untuk keluar dari alam yang kurang baik ini dan tentunya PII dapat memberi jawaban ruang ekspresi yang tepat dan nyaman untuk pelajar saat ini.

Dalam mukadimah Ta'dib (buku induk kaderisasi PII), jelas disebutkan bahwa kehadiran PII dimaksudkan untuk menjadi media yang mampu mendorong proses perubahan pandangan, pola dan sikap hidup masyarakat Indonesia. Singkatnya, tugas PII adalah mengubah dan membangun paradigma. Paradigma yang dimaksud adalah sebuah cara pandang yang mencerahkan, bukan cara pandang konservatif.

Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin dahsyat di mana pelajar yang merupakan generasi bangsa menjadi target operasi untuk dilumpuhkan mentalnya, baik melalui narkoba, seks bebas, maupun lain sebagainya. Untuk itu, PII memiliki kewajiban merawat mental pelajar supaya tidak ikut terperosok ke dalam arus yang sangat berbahaya ini.

Sinergisme PII dan KB PII
Pada 7-10 Oktober 2011, Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (Perhimpunan KB PII) menggelar Musyawarah Nasional IV di Balikpapan, Kalimantan Timur. Kehadiran Perhimpunan KB PII diharapkan dapat memperluas, bukan mempersempit gerakan. Rivalitas yang mungkin dirasakan dari daerah sampai pusat mestinya tidak terjadi dan ini mesti diakhiri, tugas mulia Perhimpunan KB PII adalah memberikan semangat, fasilitas, dan support untuk kemajuan organisasi PII.

Mesti disadari dan dipahami betul bahwa Perhimpunan KB PII bukanlah organisasi politik maupun profesi, dia adalah organisasi sosial yang membutuhkan sokongan tulus dari sejumlah pihak, terutama para alumninya, jadi tidak bisa dibenarkan kalau organisasi ini dijadikan sebagai alat untuk memburu rente. PII maupun Perhimpunan KB PII dilahirkan oleh umat dan untuk kemajuan umat, jadi yang memburu rente di sini untuk kepentingan pribadi lebih baik dideportasi saja.

Perhimpunan KB PII sudah berjalan tiga periode dan dipimpin oleh orang yang memiliki reputasi sangat baik, ketua umum pertama ZA Maulani (mantan kepala Bakin), ketua umum kedua Ryaas Rasyid (mantan menteri Otonomi Daerah, saat ini anggota Wantimpres), dan ketua umum ketiga Tanri Abeng (mantan Meneg BUMN). Sesungguhnya, siapa pun yang memimpin PII yang terpenting adalah membawa organisasi ini menjadi lebih baik.

Hal lain yang penting dan mesti menjadi perhatian Perhimpunan KB PII adalah membuka akses pendidikan. Para alumni PII banyak yang memiliki sekolah dan pimpinan di berbagai perguruan tinggi, semestinya dapat membantu kader PII yang berniat secara serius melanjutkan studi supaya mendapatkan beasiswa. Akses pendidikan ke luar negeri juga mesti segera dibuka seluas-luasnya. Alangkah terhormatnya kalau Perhimpunan KB PII ke depan memiliki target program dalam setahun, misalkan dapat mengirimkan 100 kader terbaik PII studi di luar negeri.

Inilah pentingnya hubungan yang sinergis antara PII dan Perhimpunan KB PII, kalau hal ini dapat di-maintenance secara baik, PII pun akan menjadi organisasi yang akan diminati kembali oleh masyarakat pelajar. Usia PII yang sudah tua bukan berarti gagasannya mesti ikut tua, pengalaman yang panjang justru mesti menjadikan organisasi ini semakin baik karena kegagalan demi kegagalan serin gkali dialami, bukankah dari kegagalan itu selalu ada hikmah, tapi bukan berarti kita mesti terus mengalami kegagalan. Sekali lagi, sudah saatnya PII dan Perhimpunan KB PII bersinergis. Akhir kata, penulis ingin mengucapkan selamat dan sukses atas penyelenggaraan Munas IV Perhimpunan KB PII.
(-)
Index Koran

Kamis, 06 Oktober 2011

Pemimpin Dunia Islam Yang Baru



Oleh: Amran Nasution

SAMPAI musim gugur 2009, upaya mendamaikan Serbia – Bosnia belum berhasil.  Sejumlah negara Barat  gagal mempertemukan kedua negara. Maklumlah Bosnia Herzegovina sulit menerima  pembunuhan massal yang dilakukan orang Serbia dengan motif agama.

Maka datanglah Ahmet Davutoglu, Menteri Luar Negeri Turki. Kedua negara adalah tetangga Turki.  Serbia berpenduduk Kristen Ortodoks sedang Bosnia, seperti Turki, berpenduduk Muslim. Di zaman Kekaisaran Ottoman (Ottoman Empire) kedua negara adalah taklukan Turki.

Sekitar 6 bulan Davutoglu mondar-mandir mendatangi kedua negara. Setidaknya 5 kali ia kunjungi Belgrade, ibukota Serbia, dan 7 kali ke Sarajevo (Bosnia).  Akhirnya perdamaian tercapai. Bosnia menerima penunjukan Duta Besar Serbia di Sarajevo dan menerima permohonan maaf  Serbia atas apa yang terjadi selama ini.   

Kenapa bisa? Bagaimana Davutoglu mendamaikan mereka? Dalam artikel yang ditulis James Traub  diThe New York Times 20 Januari 2011, Sang Menlu mengungkap rahasia suksesnya. Katanya, di suatu malam yang larut ia masih berunding dengan pemimpin Bosnia Haris Silajdzic di Bandar Udara Sarajevo. Sebagai seorang perokok berat, Silajdzic hampir tak berhenti merokok. Padahal Davutoglu – seorang Muslim yang taat – bukan perokok.

Tapi kali ini lain, Menlu Turki itu sengaja membawa rokok. ‘’Saya merokok dia pun merokok,’’ katanya. Davutoglu menjuluki gaya diplomasinya itu sebagai ‘’Smoking like a Bosnian’’ (Merokok seperti seorang Bosnia). Dengan sama-sama merokok ternyata persetujuan lebih gampang dicapai, perbedaan lebih mudah dijembatani.

Tapi apa pun, penggalan cerita ini hanya melengkapi kenyataan betapa Turki sekarang sedang tumbuh menjadi kekuatan baru yang berperan di Eropa dan Asia, terutama Timur Tengah. Pecahnya revolusi Arab – biasa disebut Arab Spring atau musim semi Arab -- dimulai dengan penggulingan penguasa Tunisia, Zine el-Abidine Ben Ali, disusul tumbangnya penguasa Mesir, Hosni Mubarak,  menurut sementara pengamat diilhami oleh keberhasilan Turki sebagai negara demokratis dan maju, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.  Atau meminjam ungkapan di dalam artikelThe New York Times tadi, Turki negara berpenduduk 74 juta itu (98% Muslim) dijadikan model (democratic role model) bahwa ternyata Islam bisa sesuai (compatible) dengan demokrasi.

Dan semua itu terjadi hanya dalam satu dekade terakhir. Sungguh menakjubkan. Babak ini dimulai ketika di tahun 2002, Partai AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) atau biasa dijuluki sebagai Partai Keadilan dan Pembangunan (Justice and Development Party) memenangkan pemilihan umum Turki. Partai berbasis Islam itu – pers Barat menyebutnya partai Islam moderat atau partai Islam yang lembut (mild Islamists) – dipimpin Recep Tayyip Erdogan dan Abdullah Gul. Setelah kemenangan itu Erdogan menjadi Perdana Menteri sedang Gul menjabat Menteri Luar Negeri dan kemudian Presiden Turki.

Sejak itu semua berubah. Turki tumbuh di atas 5 persen setahun, menjadikan negeri itu dalam pertumbuhan ekonomi hanya berada di bawah China dan India, dua negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Inflasi yang sebelumnya mencapai 45 persen bisa dikendalikan di bawah 10 persen. Tahun ini inflasi di Turki hanya 6%. Lalu pengangguran berhasil ditekan dan APBN-nya pun surplus. Dengan cepat Turki menguasai perdagangan dengan negara tetangganya Rusia serta kawasan Timur Tengah.

Kemajuan ekonomi menyebabkan AKP terus-menerus menang dalam tiap pemilihan umum. Sampai Pemilu Juni kemarin, sudah tiga kali berturut-turut partai itu unggul dengan sedikitnya 40% suara – bandingkan Partai Demokrat di sini yang cuma menang dengan 20 persen dalam Pemilu 2009. Kemenangan itu menyebabkan Erdogan mau pun Abdullah Gul memiliki rasa percaya diri berhadapan dengan kelompok militer yang selama ini menguasai jagad politik Turki.

Seperti diketahui dalam sejarah Turki, militer memiliki peran amat besar sejak Jenderal Mustafa Kemal Ataturk mengambil-alih kekuasaan pada 1923, menyusul kekalahan negara itu dalam Perang Dunia I dan kemudian ambruknya Kekaisaran Ottoman (disebut juga Turki Usmani) yang menguasai sebagian belahan dunia selama ratusan tahun. Kemal memodrenisasikan Turki dengan merombak total bekas kerajaan Islam itu menjadi sebuah negara Barat yang sekuler. Konstitusinya saja ia jiplak dari Swiss.

Sekali pun mulai tahun 1950-an Turki menggunakan sistem politik multi-partai tapi militer tetap punya kuasa mencampuri politik dengan dalih menjaga konstitusi. Sejak tahun 1960, tercatat sedikitnya militer menjatuhkan empat pemerintahan yang terpilih melalui Pemilu. Terakhir di tahun 1997, Perdana Menteri Necmetin Erbakan digusur militer dari kursinya.

Erbakan – teman mantan Presiden B.J Habibie – adalah pemimpin partai berbasis Islam, Refah. Ia dan partainya dituduh militer ingin mengubah konstitusi sekuler dengan Islam. Maka Refah dinyatakan sebagai partai terlarang, sedang Erbakan dilarang aktif dalam politik.

Erdogan dan Gul pada waktu itu adalah aktivis mudaRefah. Erdogan malah sempat ditangkap karena membaca puisi yang dituduh militer mengampanyekan Islam dan menghina militer. Puisi itu berjudul Asker Duasi (Doa Serdadu) ditulis Ziya Gokalp, pemikir, aktivis, dan penyair terkenal Turki sebelum Perang Dunia I. Padahal Gokalp seorang nasionalis dan ide-idenya mengilhami gerakan Kemal Attaturk. Begini syairnya: Masjid-masjid adalah barak kami, kubahnya helm kami, menaranya bayonet kami, para pengikutnya serdadu kami. Hanya membaca puisi seperti itu Erdogan diadili dan meringkuk 4 bulan di dalam penjara.

Maka saking khawatir dituduh militer macam-macam setelah AKP memenangkan Pemilu 2002, para calon anggota parlemennya yang terpilih ramai-ramai mencukur klimis jenggotnya sebelum pelantikan. Soalnya jenggot dan jilbab di mata militer adalah simbol atau atribut Islam yang bila dibawa ke dalam gedung parlemen bisa dianggap mencederai sekularisme. Dan itu berarti bisa dituntut di pengadilan. Hal seperti itulah yang banyak mewarnai Turki setelah revolusi Attaturk. Sementara dalam soal politik dan ekonomi negeri itu terus merosot.

Tapi sekarang semua sudah berubah. Akhir Juli lalu, pucuk pimpinan tertinggi militer Turki, Jenderal Isik Kosaner bersama Panglima Angkatan Darat, Panglima Angkatan Laut, dan Panglima Angkatan Udara, serempak mengundurkan diri dari jabatan.  Beberapa jam kemudian, Perdana Menteri Erdogan langsung menerima pengunduran dan ia pun segera mengangkat panglima baru menggantikan Jenderal Kosaner, yaitu Jenderal Necdet Ozel, sebelumnya Komandan Polisi Militer.

‘’Peristiwa ini akhir dari peran militer secara efektif di dalam Turki yang demokratis,’’ kata Asli Aydintasbas, kolomnis surat kabar yang terbit di Turki, Milliyet. ‘’Ini momen simbolik yang menunjukkan Republik Turki Pertama berakhir dan Republik Turki Kedua dimulai.’’ (The New York Times, 29 Juli 2011).

Bagaimana mungkin militer yang begitu perkasa dipinggirkan begitu saja? Sebenarnya sejak menjadi Perdana Menteri di tahun 2002, pelan-pelan Erdogan secara substansial memangkas peran politik militer. Sebagian ia lakukan melalui reformasi hukum dan undang-undang yang menyebabkan tegaknya kendali sipil atas militer.

Tapi pukulan dahsyat terjadi ketika Erdogan menuduh terjadi konspirasi untuk menjatuhkan pemerintahannya. Mereka adalah para jenderal yang bekerja sama dengan Geng Ergenekon, sebuah jaringan teroris bawah tanah. Akibatnya 40-an jenderal ditangkap – itu berarti sekitar 10% dari jumlah perwira militer senior negeri itu – selain sejumlah politisi sipil dan wartawan.

Semua ini bisa dilakukan Erdogan karena memang populeritasnya tinggi di mata rakyat, terutama karena keberhasilan pemerintahan sipilnya memperbaiki ekonomi negeri itu. Sementara di pihak lain, citra militer di mata rakyat terus merosot.

The Washington Institute for NearEast Policy (WINEP), sebuah lembaga tink-tank di Washington, mengungkapkan bahwa dari berbagai survei diketahui sekarang hanya sekitar 60% rakyat Turki mempercayai institusi militer. Padahal pada 2002, ketika Erdogan mulai menjadi perdana menteri, kepercayaan itu masih 90%. Artinya, sejak Erdogan dan partainya naik ke panggung kekuasaan populeritas militer pun pelan-pelan terkikis.

 Mitos bahwa militer menentukan arah politik negeri itu dan dengan gampang menjatuhkan pemerintahan yang tak disukainya, sekarang sudah luntur. Penggantinya: Turki sebagai model negara berpenduduk Muslim yang demokratis dengan perekonomian yang solid.

Dengan modal itu, seperti ditulis Christopher Torchia dari kantor berita Associated Press, Februari lalu, Turki sedang tumbuh sebagai pemimpin dan mediator regional di Timur Tengah. Malah bukan cuma Timur Tengah, tapi negara-negara berpenduduk Muslim di seluruh dunia.

Dalam kunjungan ke Mesir, Tunisia, dan Libya belum lama ini, Erdogan disambut seakan pemimpin mereka. Di Mesir, massa Ikhwanul Muslimun – organisasi Islam terbesar di sana – meneriakkan ‘’Khalifah’’ ke arahnya, mengingatkan jabatan pemimpin Islam di zaman kejayaan dulu.

Erdogan mengerti betul posisinya. Dalam lawatan itu ia mengecam keras kekejaman Israel di Palestina, selain meminta tanggung jawab negeri Yahudi itu karena menyerang kapal sipil Flotilla yang sedang menuju Gaza tahun lalu. Akibatnya 8 warga Turki (seorang di antaranya Turki-Amerika) terbunuh.

Dalam sebuah acara Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos, Switzerland, Januari 2009, Erdogan mendamprat Preesiden Israel Shimon Perez sebagai seorang yang pintar membunuh.

Sekarang Erdogan mengejek Israel sebagai anak manja Barat (the West’s spoiled child). Belum cukup. Erdogan mengancam akan mengirim armada perang untuk mengawal kapal-kapal dagangnya di Laut Mediterania.

 Turki adalah salah satu anggota NATO, Fakta Perhananan Atalantik Utara, yang melibatkan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Maka ancaman Turki kepada Israel merepotkan Amerika atau negara Eropa. Soalnya, mereka adalah pelindung Israel. Padahal sebagai sesama anggota NATO dengan Turki, menyebabkan siapa pun yang menyerang Turki adalah musuh mereka juga. 

Minggu, 02 Oktober 2011

Baksos Siswi MTs YTP Kertosono di Ds Sumbersono Lengkong













Template by:
Free Blog Templates