Sabtu, 27 Agustus 2011
Apa Setelah Ramadhan?
What Next After Ramadhan?
Oleh: Abdullah al-Mustofa
Sebagaimana di bulan Ramadhan di tahun-tahun yang telah lalu, di bulan Ramadhan yang baru saja kita jalani ini, suasana agamis dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih kentara dan lebih terasa di banding dengan bulan-bulan sebelumnya.
Suasana agamis yang ada di masyarakat tersebut dapat dirasakan kehadiran dan dampaknya tak lain dan tak bukan disebabkan karena banyak pihak dan orang yang tergerak secara serempak berlomba-lomba dalam kebaikan. Masjid-masjid, perkantoran, kampus-kampus, sekolah-sekolah dan tempat lainnya menyelenggarakan berbagai macam kegiatan yang meningkat jumlah dan frekwensinya.
Media cetak dan elektronik - lepas dari maksud dan tujuannya masing-masing – juga tak ketinggalan menambah jumlah konten yang bernuansa Islam. Para artis “mendadak”berjilbab. Juga para tokoh masyarakat dan pejabat baik yang Muslim maupun non-Muslim mengeluarkan himbauan agar umat selain pengikut agama Islam toleran kepada saudara sebangsanya yang Muslim dalam melaksanakan ibadah puasa sebagai salah satu pengabdian dari beragam bentuk pengabdian lainnya kepada yang telah menciptakannya.
Tidak sedikit di antara pemilik atau pengelola rumah makan baik yang Muslim maupun non-Muslim yang tidak membuka lebar-lebar pintu-pintu dan jendela-jendela rumah makan-rumah makan mereka di saat kaum Muslim menahan rasa lapar, dahaga dan hawa nafsu. Bahkan di beberapa daerah sebagian jenis usaha atau tempat hiburan dilarang beroperasi sama sekali atau diminta untuk mengurangi jam operasinya untuk menghormati bulan suci Ramadhon.
Selain itu tentu saja di bulan yang merupakan kesempatan yang baik untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas amaliyah ibadah baik ibadah yang vertikal maupun horisontal, banyak orang Muslim yang memanfaatkan dengan baik peluang emas ini untuk meningkatkan iman dan takwa mereka dengan jalan memperbanyak jumlah dan panjang barisan musholli di berbagai musholla, jumlah roka'at sholat-sholat sunat, tadarrus al-Qur'an, istighfar, do'a, sholawat kepada Rosululloh saw, serta dengan jalan memberikan bantuan kepada saudara-saudara mereka yang kurang beruntung dari segi materi.
Di antara mereka ada yang ber-amar ma'ruf nahi munkar dengan memberikan ceramah atau nasehat, menghimbau kepada mereka yang tidak berpuasa agar menghormati mereka yang berpuasa, mengajak saudara seaqidah mereka untuk berbuat kebajikan seperti tadarrus al-Qur'an bersama-sama atau sholat tarowih berjama'ah, atau sekedar membangunkan mereka yang akan berpuasa untuk makan sahur, memberitahu atau mengingatkan batas akhir makan sahur. Dan masih banyak amaliyah ibadah lain yang mereka lakukan dan tingkatkan di bulan suci tersebut.
Dengan meningkatnya suasana agamis di bulan suci yang baru saja mulai ini, membuat hati kita merasa lebih tenteram, damai, bahagia dan nikmat.
Lalu seusai Ramadhan, what next? Setelah Ramadhon usai nanti akankah hati kita juga merasakan setenteram, sedamai, sebahagia dan senikmat di bulan puasa yang kita jalani saat ini? Ataukah di tahun-tahun mendatang kita hanya merasakannya di bulan Ramadhan saja dan tidak di 11 bulan lainnya? Ataukah perasaan-perasaan itu semakin bertambah, tetap, berkurang atau bahkan hilang sama sekali dengan bertambahnya usia kita? Wallahu a’lam. Kita tidak tahu secara pasti. Yang kita ketahui bahwasanya kita semua tak terkecuali pasti mempunyai keinginan agar hati kita selalu merasa demikian sepanjang hayat.
Dengan demikian sudah sewajarnya kita - apapun profesi kita - pasti ingin dan akan selalu berusaha terus-menerus hari demi hari untuk menciptakan - jika belum ada sebelumnya -, mempertahankan serta meningkatkan suasana agamis di dalam keluarga, tempat kerja, desa, kota, propinsi dan negara kita. Serta merasa membutuhkan bahkan kecanduan untuk selalu merasakannya sepanjang tahun dan sepanjang hati kita masih berfungsi.
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kandidat Master Studi Al-Qur'an di IIUM (International Islamic University Malaysia)
Foto: Rizal Tahrir
Red: Panji Islam
Kamis, 25 Agustus 2011
Misi Kristen dalam Buku Sejarah
Catatan Akhir Pekan ke-315
Kamis, 25 Agustus 2011
Oleh: Dr. Adian Husaini
DALAM sebuah buku Sejarah untuk siswa SMP kelas VIII (Jakarta: Erlangga, 2006), diuraikan satu bab khusus berjudul “Perkembangan Kristen di Indonesia”. Bab ini dibuka dengan uraian berikut: “Mengapa perlu mempelajari bab ini? Penyebaran Kristen di Indonesia berintikan damai dan cinta kasih. Namun, karena intervensi politik Barat, timbul kesan penyebaran Kristen identik dengan kolonialisme dan imperialisme. Dengan mempelajari bab ini, kita diajak untuk semakin sadar betapa campur tangan politik dapat merusak nilai-nilai luhur yang terkandung pada setiap agama.”
Pada bagian selanjutnya dijelaskan tentang kendala penyebaran agama Kristen di Indonesia: “Para penguasa dan penduduk setempat mencurigai para rohaniwan sebagai sekutu Portugis ataupun Belanda. Tindakan penindasan yang dilakukan para pedagang maupun pemerintah kolonial menimbulkan kesan bahwa Kristen identik (sama saja) dengan kolonialisme. Padahal para rohaniwan selalu datang dengan maksud damai.” (hal. 61)
Inilah salah satu contoh materi sejarah yang diajarkan kepada para pelajar SMP. Benarkah isi buku pelajaran sejarah tersebut? Ada baiknya kita simak penjelasan dari kalangan Kristen sendiri!
Pada tahun 2010, juga rangka memperingati 150 tahun Huria Kristen Batak Prostestan, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerjasama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia menerbitkan sebuah buku berjudul Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, karya Prof. Dr. Uli Kozok, seorang professor kelahiran Jerman.
Prof. Uli Kozok membuka bukunya dengan sebuah kutipan seorang tokoh Gereja se-Dunia, Ph. Potter: “Gerakan penginjilan […] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme, imperialisme dan – sebagai akibatnya – rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme.”
Berdasarkan dokumen-dokumen di lembaga misi di Jerman yang mengirimkan Nommensen ke Tanah Batak, yaitu Rheinische Missions-Geselschaft (RMG), Prof. Uli Kozok menemukan fakta pengakuan Ludwig Ingwer (L.I.) Nommensen, tokoh misionaris Jerman di Tanah Batak, bahwa dia bergabung dengan pasukan Belanda untuk melawan gerakan perlawanan para pahlawan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII. Laporan Berichte Rheinische Missionsgeselschaft (BRMG), menunjukkan, para penginjil justru bersekutu dengan tentara penjajah dalam menumpas perlawanan Sisingamangaraja XII. Lebih jauh Prof. Kozok mencatat:
“Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen, sehingga terbentuk koalisi Injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Sisingamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Sisingamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern, sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: memastikan bahwa orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa. (BRMG 1882:202)” (hal. 92).
Dalam perang menumpas perjuangan Sisingamangaraja XII, pihak zending Kristen berhasil meyakinkan ratusan raja di tanah Batak agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah kepada kekuasaan Belanda:“Dukungan dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Danau Toba juga mempunyai tujuan lain, yaitu meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka sia-sia saja dan mendesak mereka agar menyerahkan diri.” (JB 1878:31). (hal. 93).
Sementara, para raja yang tidak mau menyerah, didenda dan kampung mereka dibakar. Atas jasa para misionaris, terutama Nommensen dan Simoncit, pemerintah kolonial Belanda memberikan penghargaan resmi, melalui sebuah surat:“Pemerintah mengucapkan terimakasih kepada penginjil Rheinische Missions-Geselschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoncit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. (BRMG 1879:169-170).” (hal. 93-94).
Selain surat penghargaan, para misionaris juga mendapat hadiah sebesar 1000 Gulden dari pemerintah kolonial yang dapat diambil setiap saat. Kerjasama antara misionaris Kristen dan penjajah Belanda berlangsung sampai Pahlawan Sisingamangaraja XII tewas dalam pertempuran tahun 1907. Dukungan kaum misionaris kepada pemerintah penjajah juga dimaksudkan untuk mencegah masuknya Islam ke Tanah Batak. (BRMG 1878:94).
Sikap pro-penjajah dari kaum Misionaris bukan hanya saat Perang Toba melawan Sisingamangaraja XII. Sikap para misionaris Kristen ini masih terus berlangsung di kemudian hari. BRMG 1897: 278-279 menulis laporan berjudul “Wie weiter auf Sumatra?” (Bagaimana Kelanjutannya di Sumatra?). Batakmission mengaku mengalami kendala untuk melakukan misi Kristen di Samosir, sebab Samosir masih merupakan “Tanah Batak Merdeka”. Selanjutnya, BRMG mencatat:
“Oleh sebab itu, “dapat dimengerti bahwa penginjil kita sangat menghendaki agar pemerintah Belanda menduduki Samosir.” Lagipula, konferensi penginjil tahun 1897 telah memutuskan bahwa “penginjilan dapat dilakukan dengan lebih tenang dan dengan lebih banyak sukses di bawah perlindungan pemerintah Eropa.” (hal. 103).
Menurut catatan sejarah, kerjasama misionaris Kristen Batak dengan penjajah Belanda diakui dengan bangga oleh para misionaris Batak. Belanda juga mempersenjatai kaum Kristen Batak dengan 50 bedil. Sebab, jika orang Batak menjadi Muslim, mereka tidak mungkin setia kepada pemerintah penjajah. BRMG 1878:154 mencatat:
“Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.”. (hal. 106).
Dalam surat-surat yang dikirim tokoh misionaris I. Nommensen, tampak jelas digunakannya istilah “musuh” untuk Sisingamangaraja XII dan rakyat Batak yang berusaha mempertahankan kemerdekaan mereka. Misalnya, dia tulis: “Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa hari, musuh kami yang jahat bergerak lagi”… “Kebanyakan musuh berasal dari daerah sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Sisingamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya.” (hal. 107).Dalam suratnya yang lain, Nommensen mencatat: “Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk… (BRMG 1882:302).” (hal. 108).
Sebuah surat tentang pentingnya penaklukan Toba oleh penjajah Belanda dan misi Kristen dalam rangka menghambat masuknya pengaruh Islam, ditulis oleh laporan BRMG 1882 (7): 202-205:
“Perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita di Silindung memainkan peranan yang cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan Injil di Silindung mendapatkan perlawanan dari Sisingamangaraja yang dulu maupun Sisingamangaraja yang sekarang. Karena sudah kehilangan sebagian besar kekuasaannya, keduanya berusaha memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir para penginjil. Sisingamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan tetapin karena ia bersekutu dengan orang Aceh di Utara maupun dengan Batak Islam di Timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak memperluas dan memperkokoh kekuasaannya, mengingat tindak-tanduk orang Aceh dan jaringan mereka yang makin hari makin ketat dan luas.” (hal. 153-154).
Dalam bukunya, Prof Uli Kozok juga menunjukkan data bahwa hubungan erat antara misi Kristen dan Penjajahan memang sudah menjadi suatu kelaziman. Paus Pius XI, misalnya, melalui surat kabar Vatikan, Osservatore Romano, 24 Februari 1935, pernah secara eksplisit mengeluarkan pernyataan yang mendukung penjajahan:“Penjajahan merupakan keajaiban yang diwujudkan dengan kesabaran, keberanian dan cinta kasih. Tiada bangsa atau ras yang berhak hidup terisolir. Penjajahan tidak berlandaskan penindasan tetapi berdasarkan prinsip moralitas tertinggi, penuh dengan cinta kasih, kedamaian dan persaudaraan. Gereja Katolik senantiasa mendukung penjajahan, asal dilaksanakan dengan jujur dan manusiawi tanpa menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu kami melihatnya sebagai sesuatu yang memiliki daya dan keindahan yang luar biasa.” (hal. 85-86).
Bukan hanya kolonialisme, ideologi rasisme juga ditanamkan kepada para misionaris dari Rheinische Missions-Geselschaft (RMG). Seorang petinggi RMG, Ludwig von Rohden (1815-1889), berpendapat bahwa semua manusia adalah keturunan Nabi Nuh, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ada lima warna kulit yang dimiliki keturunan Nabi Nuh itu: putih, kuning, merah, coklat dan hitam. Menurutnya, warna kulit ditentukan oleh kadar dosa masing-masing. Semakin berdosa sebuah bangsa, maka akan semakin hitam warna kulitnya. Kata Ludwig von Rohden dalam sebuah tulisannya:“Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri, semakin merosot moral dan kecerdasan, seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh dan warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan warna kulit paling hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang. Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada: ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan ilahi.” (hal. 59).
Menurut Rohden, bangsa berkulit hitam bisa menjadi putih kulitnya jika mereka menjadi Kristen:“Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses penyembuhan] itu, maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan mata dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, bahkan warna kulitnya secara turun-temurun bisa menjadi lebih putih.” (hal. 60).
Itulah fakta dan data tentang misi Kristen yang ditampilkan Prof. Uli Kozok – guru besar dan ketua jurusan bahasa Indonesia di Universitas Hawai. Gambaran misi Kristen yang berkolaborasi dengan penjajah itu jauh sekali bedanya dengan isi buku Sejarah yang kini diajarkan kepada anak-anak Muslim di sekolah-sekolah tingkat SMP.
Seyogyanya, para pimpinan sekolah Islam, para guru, dan orang tua sadar benar akan kekeliruan besar semacam ini. Sungguh ironis, jika ada lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan bahan-bahan sejarah semacam ini, yang merusak pemikiran dan jauh sekali dari fakta sejarah sebenarnya. Bukankah Allah SWT sudah memperingatkan: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” Wallahu a’lam bil-sshawab.*/Depok, 24 Ramadhan 1432 M/24 Agustus 2011.
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, Ketua Program Studi Pendidikan Islam, Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor
Jumat, 19 Agustus 2011
Yuk Wujudkan Poligami Indah !
Poligami sering menjadi perbincangan masyarakat dimana-mana, terutama para ibu, terkait dengan santernya pemberitaan seorang ulama kondang yang melakukan poligami dan berakhir dengan perceraian dengan istri pertamanya.
Banyak pihak yang menyayangkan dan simpati dengan keputusan perceraian ini, karena sebelumnya mereka berdua adalah figur teladan yang menjadi rujukan atau referensi keluarga sakinah mawwadah warahmah. Lalu kenapa ahirnya terjadi perceraian. What's wrong ???
Akibat pemberitaan media yang kurang obyektif mengenai sosok ulama tadi terkait dengan kehidupan keluarganya, membentuk opini di masyarakat yang apriori dengan poligami, terutama para ibu, seolah-olah poligami menjadi monster menakutkan dan mengancam keutuhan keluarga pertama. Benarkah demikian? Bukankah poligami adalah solusi yang Allah suguhkan untuk kita? lalu kenapa malah menjadi masalah?
Saudaraku… yuk, kita sama-sama mencermati dengan seksama terkait dengan fenomena yang ada, dengan mengedepankan obyektifitas, dengan pikiran yang jernih dan positif, dengan hati yang bening dan bersih dari prasangka-prasangka yang tidak jelas. Saya yakin kita semua sepakat, semua aturan Allah adalah rahmat, membawa keberkahan, kebahagiaan, solusi terindah dan merupakan kasih sayang Allah untuk kita semua.
Kita semua sepakat Allah Mahatahu kebutuhan hamba-Nya. Dengan semua sifat-sifat yang Allah miliki sudah selayaknya kita memiliki keyakinan yang besar yang membuahkan sikap yang senantiasa tunduk dan patuh dengan segala aturan-Nya. Karena Dialah yang menciptakan kita. Dialah yang maha tahu aturan yang paling tepat, yang terbaik, yang terindah untuk mahluk-Nya.
Yang jadi pertanyaan kita sekarang adalah kenapa orang sekaliber ulama tadi yang memproklamirkan diri ingin memberi contoh poligami yang dapat menjadi teladan umat malah berakhir dengan perceraian? what's wrong?
Kita terkadang lupa bahwa ulama juga manusia biasa, istrinya juga manusia biasa. Tapi para penggemar ulama tadi terutama ibu-ibunya tidak peduli. Dengan alasan apapun akibat praktek poligami yang dilakukan ulama tadi, ibu-ibu rame-rame memboikot segala macam produk dan antribut yang berbau ulama tadi dan yang berbau poligami. Seolah-olah poligami haram hukumnya.
Terlepas dari kasus poligami diatas, semestinya tidak ada sikap apriori terhadap poligami. Sekalipun kita dihadapkan pada realitas yang ada pada pelaku poligami yang seolah-olah tidak adil bagi perempuan. Jika kita mau jujur, itu semua terjadi karena adanya praktek poligami yang tidak selaras dengan syar’i. Padahal poligami yang diperbolehkan penuh dengan rambu-rambu Illahi dan penuh dengan keindahan.
Faktanya memang wanita yang ikhlas mau dipoligami suaminya termasuk langka. Karena poligami sangat erat kaitannya dengan perasaan dan emosional. Istri yang di poligami suaminya harus memiliki hati seluas samudera, yang memiliki kecintaan pada Allah diatas segala-galanya, mendedikasikan diri, hidup dan kehidupannya hanya untuk Allah, siap untuk berbagi dan bersinergi di jalan Allah dengan wanita lain, menjadikan poligami sebagai ladang amal untuk berbagi dan bersinergi di jalan Allah.
Subhanallah... luarbiasa... Allahuakbar, bayangkan saudaraku… betapa indahnya dunia ini, jika kita bisa mewujudkan poligami yang indah, jika kita termasuk wanita yang mau berbagi dan bersinergi di jalan Allah dan hanya karena Allah. Mendedikasikan setiap helaan nafas, setiap detak jantung, setiap langkah, setiap aktivitas kita hanya untuk Allah.
Karena pada hakekatnya kita tidak memiliki apapun di dunia ini, semuanya milik Allah, suami kita, anak kita, harta kita dan semua yang Allah berikan untuk kita bukanlah milik kita tapi amanah untuk kita.
Ketika kita memutuskan untuk mempersilahkan suami kita untuk poligami karena Allah, semuanya akan terasa indah dan penuh dengan keindahan, kebahagiaan dan keberkahan akan menghampiri kita, yakinlah saudaraku ... rida dan cinta Allah adalah surga yang sebenarnya.
Yuk, kita wujudkan poligami indah ... Allahuakbar. WaAllahualam…
Penulis: Lilis Hady Al-Bantany
Seorang ibu dengan satu anak, yang berprofesi sebagai guru SDIT dan manager biro perjalanan umroh dan haji.
Penulis: Lilis Hady Al-Bantany
Seorang ibu dengan satu anak, yang berprofesi sebagai guru SDIT dan manager biro perjalanan umroh dan haji.
Bahagianya Menjadi Ibu Rumah Tangga
Menjadi Ibu Rumahtangga, Ternyata Membahagiakan
Kisah seorang mantan aktivis kampus yang memilih menjadi ibu rumahtangga. Mulanya merasa kecewa dan hampa, namun kemudian bahagia
Selain Adam dan Hawa, tak seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki ibu. Bahkan bayi mungil yang dibuang di pinggir jalan sekalipun, tetaplah memiliki seorang ibu, bagaimanapun bentuk dan wujudnya.
Tetapi ternyata tidaklah mudah untuk sekadar berterima kasih dan menghargai peran seorang ibu. Sebuah peran suci dan sakral yang kini lebih sering dianggap sebagai peran domestik dan amat tradisional. Karenanya, kini tidak sedikit perempuan, termasuk saya, kerap lebih bangga menyebutkan berbagai profesi, entah sebagai guru, wartawan, sekretaris, pedagang, atau profesi lain dibandingkan menyebut dirinya sebagai ibu rumah tangga (saja).
Suatu hari saya pernah mendaftarkan diri untuk melakukan pemeriksaan USG (ultrasonografi) pada bayi yang saya kandung di sebuah klinik bersalin. Tiba-tiba sang perawat dengan ramah menanyakan, “Apakah ibu bekerja?”
Dengan gagap dan segan saya terpaksa menggeleng. Perawat yang ramah itu pun kemudian menuliskan sesuatu di dalam kartu kontrol berobat milik saya. Belakangan saya baru tahu kalau perawat itu menuliskan “IRT” alias “Ibu Rumah Tangga” dalam kolom pekerjaan saya.
Tiba-tiba saya merasakan ada sepenggal hati saya yang terbang entah ke mana. Ada rasa kesal, sedih, malu, atau apa namanya, saya tidak tahu. Yang jelas saya diam-diam mengeluh mengapa saya tak bisa bangga mengatakan bahwa saya (hanyalah) seorang ibu rumah tangga.
Mencari Makna “Fungsi Perempuan”
Entah kenapa, sejak menjalani babak kehidupan yang baru (sebagai ibu rumah tangga murni), tiba-tiba saya merasa belum pernah menjadi ‘manusia’. Karena, merasa sama sekali belum mempunya nilai dan fungsi sosial bagi kehidupan.
Saya belum mampu memberikan sedikit warna dalam kehidupan meskipun dalam bentuk yang remeh-remeh sekalipun. Bukankah seberapa besar manusia mampu menjadi ‘manusia’ tergantung dari seberapa besar dia memberikan manfaat pada orang lain dan lingkungan sekitarnya? Dan kini, bagaimana saya bisa merasa menjadi ‘manusia’? Bagaimana bisa memiliki fungsi sosial jika saat ini kehidupan saya berputar tak lebih dari urusan kerumahtanggaan dan melayani suami?
Tidak pernah lagi saya rasakan kenikmatan memberikan sedikit pengetahuan saya dalam berbagai pelatihan rekan-rekan mahasiswa, yang dulu kerap saya lakukan. Juga kepuasan batin yang tiada terkira ketika berhasil mengumpulkan dana dan berbagai bantuan material untuk para korban bencana lewat LSM dan sebuah organisasi kemahasiswaan yang dulu pernah saya geluti. Pun peluh keringat kelegaan setelah berhasil mengejar deadline menyelesaikan tulisan-tulisan untuk tabloid kampus, tempat saya mencurahkan segala ide. Rasanya semua itu sudah begitu lama tidak lagi saya alami. Dan jujur saja, saya kangen dengan semua aktivitas itu.
Dulu, saya membayangkan begitu indah dan sederhana kehidupan menjadi seorang ibu rumah tangga. Mengurus suami dan anak-anak, membereskan berbagai urusan rumah, dan menunggu kepulangan mereka dengan senyum yang menyejukkan.
Kenyataannya ternyata tidaklah semudah itu. Ketika suami berangkat bekerja, maka mulailah saya berusaha menikmati segala bentuk kesendirian dengan tenggelam dalam berbagai rutinitas rumahtangga. Dan tetap saja semua itu terasa menyiksa, karena saya tidak lagi mempunyai teman untuk sekadar bertukar pendapat tentang berbagai hal.
Otak saya terasa begitu tumpul dan bebal karena sama sekali tidak lagi terasah dalam berbagai forum diskusi. Satu-satunya kegiatan untuk mempertahankan kemampuan otak adalah dengan membaca dan menulis.
Wanita Modern dengan Peran Tradisional
Hingga akhirnya saya menemukan tulisan Annie Iwasaki, sosok perempuan yang dengan bangga menentukan sebuah pilihan untuk bekerja sebagai ibu rumahtangga di tanah air suaminya, Jepang. Annie benar-benar berusaha untuk menghayati dan memaknai kariernya itu. Ia kemudian menemukan bahwa justru dengan kembalinya para perempuan modern yang berpendidikan tinggi kepada peran tradisionalnya sebagai ibu rumahtangga murni, maka negara Jepang bisa maju!
Menurutnya hal ini dikarenakan, pertama, bekerjanya perempuan di sektor domestik (rumahtangga) itu berarti mengurangi kemungkinan kelebihan jumlah tenaga kerja di sektor publik. Kedua, perempuan berpendidikan yang bekerja di sektor domestik lebih menjamin terciptanya generasi masa depan Jepang yang berkualitas. Bahkan dalam sebuah artikelnya ia berani memberi judul “Peran Ganda Perempuan Karier Itu Nonsense!”
Sejak membaca tulisan itu, saya mulai belajar untuk berbesar hati menerima kenyataan bahwa kini saya adalah ibu rumah tangga murni. Meskipun menjadi ibu rumah tangga dalam pengertian yang paling klasik: berdiam di rumah, mengerjakan segala rutinitas kerumahtanggaan dengan tangan dan tetes keringat saya sendiri, adalah hal yang sebelumnya sama sekali tak terbayangkan.
Semasa remaja saya biasa menghabiskan waktu dengan berbagai aktivitas di luar rumah. Mulai dari urusan kuliah, mengerjakan koran kampus, rapat di masjid, rapat organisasi kemahasiswaan, dari pagi hingga malam. Maka apakah berlebihan jika saya begitu gamang menjalani profesi ibu rumahtangga (murni) ini? Apakah berlebihan jika saya begitu gelisah karena harus seharian berdiam diri di rumah dengan setumpuk pekerjaan rumah tangga yang seolah tiada berujung?
Menemukan Permata
Waktu terus berjalan. Putri kecil saya menginjak usia dua tahun. Celoteh dan tingkah lakunya telah mengajarkan begitu banyak hal kepada saya untuk terus belajar menjadi ibu yang baik. Bukankah guru terbaik seorang ibu adalah pengalamannya sendiri? Bukankah proses belajar menjadi ibu yang baik adalah proses sepanjang hayat?
Begitu satu tahap perkembangan keluarga telah terlampaui, maka masih terdapat milyaran tahapan pembinaan keluarga yang harus dijalani. Bukan sekadar mengandung selama sembilan bulan sepuluh hari. Sebab begitu terlahir, bayi itu masih harus dijaga, disuapi, dilimpahi kasih sayang, dididik agar ketika dewasa tidak tersesat jalan, juga masih harus disekolahkan. Setelah anak selesai sekolah apakah tugas ibu selesai?
Tentu saja tidak. Sang ibu akan terus memikirkan dimana si anak bekerja, bagaimana pendamping hidupnya, cukupkah kebutuhan hidupnya, bahagiakah perkawinannya? Dan sederetan pertanyaan lain yang akan terus mengikuti sang ibu dan menuntutnya untuk terus belajar hingga tutup usia. Maka adakah batas proses belajar (menjadi) seorang ibu? Tentu saja batasnya hingga akhir hayat.
Jadi, kegamangan yang saya alami ketika mulai menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga, mungkin itu adalah bagian dari proses belajar menjadi ibu. Kini saya sudah kembali ke kota asal saya. di Malang - Jatim.
Saya kembali bergabung dengan teman-teman untuk mengaji seminggu sekali dan menghadiri pengajian umum tiap Ahad pagi. Saya juga menjalin hubungan baik dengan para tetangga, memberikan kursus bordir untuk menambah penghasilan keluarga, dan terus belajar menjadi istri sekaligus ibu yang baik.
Bayi mungil saya telah tumbuh menjadi malaikat kecil yang setiap saat mampu mengingatkan saya, betapa hidup hanya sekali dan hanya akan bermuara pada kematian. Sebagaimana dulu bayi saya tidak ada, kini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya ada. Maka kelak Allah pun akan menjadikan saya tiada. Tidak ada pilihan lain bagi saya selain berusaha untuk memberikan yang terbaik sebagai bekal pertanggungjawaban kelak di hari pembalasan.
Anda mengalami keresahan ketika harus menjalani profesi ibu rumahtangga murni? Mulai sekarang, sapalah lingkungan sekitar Anda. Bergabunglah dengan kelompok-kelompok pengajian di sekitar tempat tinggal. Interaksi sosial yang baik akan banyak membantu menyegarkan sekaligus menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas rumah yang cenderung monoton.
Atau jika Anda resah karena penghasilan suami begitu minim, mulailah untuk mengembangkan potensi. Apapun itu! Pun bila Anda bingung harus memulai dari mana, sertakanlah Allah dalam setiap usaha. Berdoalah pada-Nya. Allah Maha Kaya, Dia akan membukakan pintu-pintu rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Allah akan membantu sebesar apapun masalah dan kesulitan kita. Tetapi semua itu hanya mungkin terjadi jika seorang perempuan, seorang hamba, mampu berlaku ikhlas serta mau melibatkan Allah dalam setiap detik pengabdiannya.*/Indah Tri, tinggal di Malang
Sumber : sahid
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar
Buku Sejarah Indonesia Perspektif Islam
Selamat Datang “Buku Sejarah Perspektif Baru”
Oleh: Dr. Adian Husaini
Buku sejarah untuk SMA tersebut juga membahas tentang perkembangan sejarah Islam. Tetapi, ada saja data keliru yang disajikan sehingga menimbulkan persepsi negative terhadap sebagian sahabat Nabi Muhammad saw. Misalnya, saat membahas Khalifah Usman bin Affan, yang hanya diuraikan dalam 10 baris, dan enam baris di antaranya ditulis dengan paparan berikut:
“Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Usman sangat dipengaruhi oleh keluarganya, yaitu Ummayah. Bahkan Khalifah Usman lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya, sehingga lambatlaun timbul oposisi terhadap Usman. Pada tahun 655 M, Khalifah Usman mati terbunuh oleh pihak oposisi yang berasal dari orang Islam sendiri.” (hal. 73).
Paparan seperti itu tentu sangat tendensius. Tapi, itulah yang diajarkan kepada siswa dan santri-santri kita yang belajar sejarah melalui buku-buku seperti ini. Tentu saja akan sangat mudah terekam opini buruk terhadap Sayyidina Usman bin Affan pada benak anak-anak kita! Tapi, apakah guru, kepala sekolah, pimpinan pesantren, selama ini begitu banyak yang peduli dengan pengajaran sejarah di SMA semacam ini?
Padahal, Sayyidina Usman r.a. adalah salah satu KhulafaurRasyidin, menantu Rasulullah saw, dan salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga. Beliau adalah orang yang sangat kaya raya dan sangat dermawan. Beliau adalah pemimpin pertama dalam rombongan Hijrah ke Habsyah. Beliau berulangkali berjihad di medan perang. Hidupnya, hartanya, dirinya sudah diserahkan untuk Islam. Adalah sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan fakta sejarah, bahwa Sayyidina Usman digambarkan sebagai pemimpin yang gila kuasa. Kita bertanya, apakah beradab jika menuduh sosok yang begitu mulia dengan tudingan: “lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”
Bayangkan, jika ada buku sejarah menulis: “Soekarno lebih mendahulukan kepentingan keluarganya dibandingkan kepentingan negaranya?” atau “SBY lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”
Apakah keluarga Soekarno atau SBY bisa menerima uraian seperti itu?
Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan yang keliru semacam ini? Tentu saja, orangtua-lah yang paling bertanggung jawab. Bukan hanya guru atau sekolah atau pesantren. Kita berharap, para guru dan orangtua mau peduli dengan isi buku pelajaran yang keliru semacam ini.
Padahal, Sayyidina Usman r.a. adalah salah satu KhulafaurRasyidin, menantu Rasulullah saw, dan salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga. Beliau adalah orang yang sangat kaya raya dan sangat dermawan. Beliau adalah pemimpin pertama dalam rombongan Hijrah ke Habsyah. Beliau berulangkali berjihad di medan perang. Hidupnya, hartanya, dirinya sudah diserahkan untuk Islam. Adalah sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan fakta sejarah, bahwa Sayyidina Usman digambarkan sebagai pemimpin yang gila kuasa. Kita bertanya, apakah beradab jika menuduh sosok yang begitu mulia dengan tudingan: “lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”
Bayangkan, jika ada buku sejarah menulis: “Soekarno lebih mendahulukan kepentingan keluarganya dibandingkan kepentingan negaranya?” atau “SBY lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”
Apakah keluarga Soekarno atau SBY bisa menerima uraian seperti itu?
Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan yang keliru semacam ini? Tentu saja, orangtua-lah yang paling bertanggung jawab. Bukan hanya guru atau sekolah atau pesantren. Kita berharap, para guru dan orangtua mau peduli dengan isi buku pelajaran yang keliru semacam ini.
*****
Sebagian akademisi masih ada yang meragukan dan salah paham tentang makna “Islamisasi ilmu” dan “Islamisasi pendidikan”. Padahal, tindakan Islamisasi adalah proses yang wajar dari aktivitas seorang Muslim. Sangat wajar jika seorang Muslim melakukan Islamisasi, sebagaimana kaum liberal melakukan liberalisasi, kaum komunis melakukan komunisasi, kaum sekular melakukan sekularisasi.
Islamisasi bukanlah gagasan utopis. Untuk membuktikannya, Program Pasca Sarjana Pendidikan Islam -- UIKA pada 29 Juni 2011, tepat 27 Rajab 1432 H, kembali menggelar seminar bertema Islamisasi Pendidikan. Tapi, kali ini seminar mengambil tema yang lebih membumi, dengan peluncuran buku Sejarah Nasional untuk SMA. Seminar bekerjasama dengan Andalusia Islamic Education & Management Service (AIEMS) dengan mengambil tema “Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Urgensi dan Aplikasinya Pada Kurikulum SMA, bertempat di Aula Gedung Pascasarjana, Universitas Ibn Khaldun Jl. KH Sholeh Iskandar KM 2 Bogor.
Pembicara dalam seminar tersebut ialah Prof. Dr. Didin Hafiduddin (Direktur Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun), Dr. Adian Husaini (Kaprodi Pendidikan Islam Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun), Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum (Penulis buku Sejarah SMA, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia), Mohamad Ishaq, M.Si (Penulis buku Fisika SMA, Kandidat Doktor Ilmu Fisika, Institut Teknologi Bandung), Ir. Budi Handrianto, M.PdI (Peneliti INSISTS), dan Erma Pawitasari, M.Ed (Direktur AIEMS)
Sejarah merupakan hal prinsip dalam kehidupan manusia. Al-Quran begitu banyak bercerita tentang sejarah umat terdahulu, baik dalam ayat-ayat Makkiyah atau Madaniyah. Karena itu, kita sangat bersyukur dan menyambut gembira terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA: Perspektif Baru, yang diterbitkan atas kerjasama antara Pasca Sarjana UIKA, DDII, dan AIEMS.
Semoga buku ini menjadi langkah awal untuk menarik gerbong Islamisasi Ilmu dan Pendidikan di Indonesia, khususnya di sekolah-sekolah Islam dan pondok-pondok pesantren. Islamisasi ilmu-ilmu pengetahuan, apalagi yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan hal yang sangat mendesak, dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Islamisasi dilakukan untuk mengembalikan ilmu pada tempat dan fungsinya yang utama, yakni untuk menjadikan anak didik menjadi manusia-manusia yang beradab, bukan manusia biadab. Yakni, manusia yang baik (good man), yang mengenal Allah, ikhlas menjadikan Rasulullah saw sebagai uswah hasanah, meletakkan ulama sebagai pewaris Nabi, memahami kedudukan ilmu, mampu meletakkan para pahlawan sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah, serta mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya agar dia menjadi Abdullah dan khalifatullah yang baik.
Di dalam Tafsir al-Azhar, saat menguraikan makna QS al-Maidah ayat 57-63, Prof. Hamka, membuat uraian khusus tentang rangkuman strategi misionaris Kristen dan orientalis dalam menyerang Islam. Hamka, antara lain mencatat: “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah. Orang Mesir lebih memuja Fir’aun daripada mengagungkan sejarah Islam…”. (Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar -- Juzu’ VI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 300.)
Uraian Hamka ini sangat menarik. Di dalam buku Tafsir yang ditulis di dalam penjara Orde Lama di era 1960-an tersebut, Hamka sudah menorehkan keprihatinan yang mendasar tentang pendidikan sejarah di Indonesia. Camkan kata-kata Buya Hamka ini: Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah.”
Pengajaran sejarah yang lebih membesar-besarkan warisan Hindu – ketimbang Islam – semacam itu memang dilakukan dengan perencanaan yang matang.
Pakar sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebutkan bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh ratusan juta jiwa. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hal. 169-179)
Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas lalu mengkritik secara tajam teori para orientalis Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indnesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis:
“Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), hal. 41.)
Uraian Prof. Naquib al-Attas itu membuka mata kita, bahwa selama ini ada yang salah – secara mendasar – dalam pendidikan sejarah di sekolah-sekolah kita. Hindu-Budha diletakkan sebagai jati-diri bangsa, sedangkan Islam hanya diletakkan sebagai pelapis kayu, yang tidak meresap ke dalam jati diri bangsa. Tidak mengherankan, jika kemudian, simbol-simbol Islam dijauhkan dari berbagai aspek kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Secara ekstrim, rezim Orde Baru pernah berusaha menggusur berbagai identitas Islam dari kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan menggusur istilah-istilah Islam dan menggantikannya dengan istilah-istilah Jawa atau Hindu.Jika anda masuk ke Kedutaan Indonesia di luar negeri, tengoklah, apakah di sana dipajang patung-patung dan candi, atau foto-foto masjid dan pesantren? Setidaknya saya pernah dua kali mengisi acara pengajian di Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri. Satu di sebuah negara Barat, dan satu di negeri Muslim. Saat memasuki ruang depan kantor KBRI, saya menjumpai sejumlah patung ini dan itu, replika candi ini dan itu. Saya tanyakan kepada seorang pejabat kedutaan, bukankah Indonesia adalah negeri Muslim, satu negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia? Mengapa tidak dipasang – misalnya -- foto Masjid Demak, Masjid Menara Kudus, foto sejumlah pesantren, dan sebagainya -- yang juga merupakan peninggalan sejarah penting di Indonesia?
Memang, peradaban Islam adalah peradaban ilmu, sehingga ulama-ulama Islam lebih mementingkan budaya ilmu ketimbang budaya batu. Tetapi, tradisi seni arsitektur Islam juga dikenal sangat tinggi dan mengilhami beberapa arsitektur modern di Barat. Saya pernah mengunjungi satu museum Yahudi dan penjaganya mengakui beberapa jenis ukiran di situ terpengaruh oleh arsitektur Islam.
Salah satu warisan peradaban Islam yang penting adalah institusi-institusi pendidikan Islam yang khas Indonesia, seperti pondok pesantren. Sebut salah satu pesantren tertua di Jawa Timur, misalnya, Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, yang sudah berumur ratusan tahun. Data sejarah menunjukkan, pesantren ini berdiri tahun 1718. Hingga kini, pesantren Sidogiri masih eksis dengan ribuan santri, serta sistem pendidikan yang unik, mandiri, bahkan sama sekali tidak bergantung dengan bantuan pemerintah.
Mungkin, dalam perspektif pendidikan Sejarah Nasional Indonesia, keberadaan sebuah pondok pesantren besar dan bersejarah seperti Sidogiri tidak dianggap lebih penting ketimbang sebuah candi. Tradisi keilmuan Islam yang bertahan ratusan tahun, tidak dianggap penting bagi pembangunan bangsa. Wallahu a’lam bil-shawab.
Tentu, kita tidak bisa menyalahkan begitu saja para pejabat kita. Sebab, pemikiran mereka tentang sejarah dan peradaban bangsa, adalah produk pendidikan sejarah saat mereka duduk di bangku sekolah. Ribuan kuisener yang pernah saya sebarkan ke lembaga-lembaga pendidikan Islam, menunjukkan, bahwa hampir semua santri, siswa, bahkan guru berpendapat, bahwa puncak peradaban Indonesia sebelum kemerdekaan dicapai saat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada di Kerajaan Majapahit, yang berhasil menyatukan Nusantara.
Jika kita tanya kepada mereka, kapan sebenarnya Majapahit menyatukan Nusantara dan dengan cara apa mereka menyatukan Nusantara, mereka hanya terbengong. Sebuah buku Sejarah untuk SMA Kelas XI, karya I Wayan Badrika (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), misalnya, menulis, bahwa saat pelantikannya sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa (Tan Amukti Palapa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil disatukan di bawah Panji Kerajaan Majapahit.
“Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya. Selama hidupnya, Patih Gajah Mada menjalankan politik persatuan Nusantara. Cita-citanya dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan Peristiwa Sunda yang terjadi tahun 1351 M.” (hal. 48).
Tentang keruntuhan Kerajaan Majapahit, ditulis: “Suatu tradisi lisan yang terkenal di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat serangan dari pasukan-pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Patah (Demak).” (hal. 49). Opini apa yang ingin disampaikan dengan paparan semacam ini kepada siswa atau santri yang belajar sejarah melalui buku seperti ini?
Mudah ditebak! Bahwa, di masa lalu, Indonesia pernah mencaai kejayaan, pernah bersatu, pernah hebat, yakni di bawah Kerajaraan Majapahit. Lalu, datanglah Islam, dengan tokohnya Raden Patah, menyerbu Majapahit dan runtuhlah Majapahit! Jadi, Islam bukanlah faktor pemersatu bangsa, tetapi Islam datang untuk menghancurkan persatuan yang diperjauangkan oleh Gajah Mada. Karena itu, Raden Patah digambarkan sebagai penghancur prestasi Gajah Mada yang berhasil menyatukan Nusantara! Wallahu a’lam bil-shawab.
Cobalah tanyakan kepada siswa atau anak-anak kita, apakah mereka lebih kenal dan kagum pada Gajah Mada atau Raden Patah? Sekitar 50 tahun lalu, Buya Hamka sudah menulis dalam Tafsirnya tentang fenomena pendidikan sejarah di Indonesia tersebut!
Yang disebut tradisi lisan terkenal di Jawa yang memberitakan tentang keruntuhan Majapahit akibat diserang Raden Patah kemungkinan besar adalah Serat Darmogandul. Dalam Darmogandul disebutkan, bahwa dalam menyerang Mojopahit Raden Patah melakukan konspirasi dengan para wali. Selama ini, Darmogandul juga sudah dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia. Misalnya, buku karya Marwati D. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia II, (Balai Pustaka, Jakarta, 1992) menulis seputar keruntuhan Majapahit:
“.... Bagaimana proses penaklukan Majapahit oleh Demak dan bagaimana nasib para penguasa Majapahit sesudah penaklukan itu tidak diketahui secara pasti. Sumber-sumber tradisi seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, dan Serat Darmagandul hanya dengan samar-samar memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana berlangsungnya penaklukan Majapahit oleh Demak.”
Paparan tentang keruntuhan Majapahit seperti itu bertentangan dengan fakta sejarah yang sebenarnya. Pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibat Perang Paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Kitab Darmogandul bisa dijadikan salah satu contoh adanya upaya sistematis untuk memberikan citra negatif terhadap Islam dan menanamkan kebencian kepada para wali serta agama Islam. Para wali disebut “walikan” (kebalikan), artinya orang yang tidak tahu balas budi. Diberi kebaikan oleh Raja Majapahit, tetapi malah menikam dari belakang. Digambarkan dalam kitab ini, bagaimana bentuk provokasi Sunan Bonang terhadap Raden Patah, agar menyerang Majapahit.Ditulis dalam Darmagandul (terjemahan Indonesianya: “Rusaklah Keraton Majapahit, dengan secara halus tersamar, jangan sampai didengar orang banyak, menghadaplah pada hari bakda Mulud (hari peringatan Maulid Nabi), persiapkan kelengkapan para prajurit, semua prajurit yang kamu miliki, juga bawahanmu yang telah masuk Islam kumpulkanlah di Demak. Pura-pura saja (mengundang mereka) untuk mendirikan masjid, setelah semuanya berkumpul aku (Sunan Bonang) yang akan membuat akal, kepada semua Sunan, para Tumenggung, semua prajurit yang telah menganut agama Islam niscaya akan menurut kepadaku ...”).
Jadi, itulah salah satu cara mengecilkan makna kehadiran Islam di Indonesia, melalui buku Sejarah Nasional, yang sudah diajarkan kepada jutaan anak-anak kita di berbagai lembaga pendidikan Islam. Entah berapa banyak guru dan orangtua yang mau peduli dengan masalah-masalah seperti ini. *
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM
Tulisan Kedua
Red: Panji Islam
Menjadi Teladan Bagi Anak Kita
Jadilah Figur Teladan Anak Kita
SETIAP keluarga tentu sangat menginginkan putra-putrinya menjadi anak yang cerdas, sholeh dan sholehah. Tetapi upaya itu kini tidak mudah, sebab kultur masyarakat di luar memiliki daya pengaruh yang jauh lebih besar. Apalagi jika kedua orangtua terbilang cukup sibuk dengan rutinitas hariannya.
Sebagian keluarga memang berhasil mempertahankan spirit untuk mencerdaskan anak-anaknya. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari mengisolir anak dari budaya nonton TV, bermain game, atau memasukkannya ke sekolah full day, pesantren dan lainnya.
Tetapi tidak sedikit yang kandas bahkan larut. Booming informasi, teori pembelajaran dan perangkat belajar yang katanya dapat memberikan kontribusi percepatan kecerdasan seringkali diadopasi begitu saja, sehingga mereduksi kepekaan orangtua dalam upaya kontrol terhadap buah hatinya.
Lahirnya berbagai teknonologi informasi, mau-tak mau melahirkan gaya hidup baru bagi remaja. Para buah hati, asik dan enjoy dengan perkembangan teknologi yang melahirnya budaya liar.
Muncullah anak-anak berkepribadian ganda. Di dalam rumah dia sangat ramah, santun bahkan mungkin tergolong rajin. Namun ketika bergaul di luar rumah, sifat positif di dalam rumah seketika lenyap dan jadilah dia anak yang sepertinya tak pernah diajari tentang nilai-nilai kebaikan.
Berita cukup mengagetkan, gara-gara Facebook, banyak gadis di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta hamil di luar nikah.
Banyak orangtua tak menyadari. Bermula dari Facebook, para remaja kemudian chatting, tukar nomor hand-phone, selanjutnya janji bertemu.
Sayang, masih saja kita jumpai orangtua mengatakan, “Ah, nanti kalau sudah dewasa pasti ngerti sendiri.”
Padahal, atas alasan seperti itu tidak bisa dibenarkan. Sebab secara hakikat potensi akal tanpa disadari telah dipenjara dalam ruang hampa dan membiarkan buah hati besar dalam didikan yang tidak jelas dinamikanya. Hal ini sungguh sangat berbahaya.
Jika orangtua tidak waspada, apalagi membiarkan anak-anak kita berinteraksi dengan gelombang besar informasi globalisasi yang destruktif, maka sama halnya kita sedang menyodorkan sesuatu yang kita cintai pada segerombolan srigala.
Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa sekolah dan guru hanyalah membantu kita untuk mencerdaskan buah hati. Namun tugas ituma justru ada pada orangtua untuk mendisik dan mengawal buah hatinya.
Figur Teladan dan Mencintai al-Quran
Pepatah mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Artinya anak akan berperilaku sebagaimana teladan yang ditampilkan oleh kedua orangtuanya.
Sejak lahir anak akan memperhatikan perilaku kedua orangtuanya. Oleh karena itu, cara efektif yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah berusaha menjadi figur yang baik.
Menampilkan uswah (keteladanan) dan sebisa mungkin tidak menampilkan sikap diri yang kurang baik atau negatif.
Selain itu, pesan penting yang Rasulullah saw wasiatkan kepada umatnya ialah agar berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan sunnah beliau.
Dalam penuturan Dr. Ir. Muhammad al-Husaini Ismail, seorang intelektual Mesir yang sempat mengalami keguncangan pemikiran dan kemudian memilih untuk istiqomah dalam keimanan menyatakan bahwa, “Di hadapan al-Qur’an akal dan kemampuan manusia tak lebih dari segerombolan para kurcaci.”
Artinya seluruh persoalan yang dihadapi manusia, al-Qur’an memberikan solusi. Selanjutnya bergantung pada manusia itu sendiri, mau mempelajarinya atau tidak.
Pernyataan tersebut sudah cukup mewakili bahwa setiap keluarga muslim wajib mencintai al-Qur’an. Mencintai dalam hal ini ialah senantiasa membudayakan iqra al-Qur’an (membaca al-Qur’an, memahami, mengamalkan dan berusaha mengajarkan kepada yang lain). Dengan demikian maka kita bisa menjadi seorang Muslim yang benar-benar hidup dengan al-Qur’an sebagai pedoman.
Iringilah dengan doa
Seorang Muslim yang baik tentu tidak pernah lepas dari budaya menghamba kepada Allah SWT. Doa bukan sekedar pelengkap keimanan, justru doa itulah senjata utama setiap muslim. Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa seriusnya para nabi berdoa. Sembari berusaha para nabi tak pernah jemu berdoa.
Nabi Ibrahim misalnya, dia adalah nabi yang senantiasa berdoa agar Allah menganugerahkan kecerdasan (berupa ketauhidan dan kesholehan) bagi keturunannya.
“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua (Nabi Ibrahim dan putranya Ismail) orang-orang yang berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah pula keturunan kami sebagai orang-orang yang berserah diri kepada-Mu." (QS.2: 128 ). Beliau juga berdoa:"Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku, sebagai orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat. wahai Rabbku, kabulkanlah doaku." (QS. 14: 40).
Nabi ibrahim juga memohon kepada Alloh agar diri dan keturunan beliau dijauhkan dari kemaksiatan terbesar kepada Alloh, yaitu kesyirikan. Beliau memohon:
رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
"Dan jauhkanlah diriku beserta anak keturunanku dari penyembahan berhala." (QS. 14: 35).
Demikianlah pelajaran yang dapat kita petik akan urgensi sebuah doa. Sebab Doa memiliki peranan penting dalam kehidupan setiap manusia. Saatnya berlomba-lomba mencerdaskan dan mendidik anak-anak kita. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Red: Cholis Akbar
BEASISWA BAZDA JATIM
Badan Amil Zakat Daerah Prop Jawa Timur memberikan beasiswa bagi pelajar di Jawa Timur. Silahkan kunjungi web ini.
Lomba Menulis Essai utk Guru
Untuk para guru di seluruh Indonesia yang punya hobbi menulis essai, silahkan ikuti lomba ini.
Rabu, 17 Agustus 2011
Seleksi Al-Azhar non Beasiswa
Informasi seleksi Universitas Al-Azhar Kairo non beasiswa bisa dibuka di sini
Minggu, 14 Agustus 2011
Sabtu, 13 Agustus 2011
Langganan:
Postingan (Atom)