Selamat Datang “Buku Sejarah Perspektif Baru”
Oleh: Dr. Adian Husaini
Buku sejarah untuk SMA tersebut juga membahas tentang perkembangan sejarah Islam. Tetapi, ada saja data keliru yang disajikan sehingga menimbulkan persepsi negative terhadap sebagian sahabat Nabi Muhammad saw. Misalnya, saat membahas Khalifah Usman bin Affan, yang hanya diuraikan dalam 10 baris, dan enam baris di antaranya ditulis dengan paparan berikut:
“Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Usman sangat dipengaruhi oleh keluarganya, yaitu Ummayah. Bahkan Khalifah Usman lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya, sehingga lambatlaun timbul oposisi terhadap Usman. Pada tahun 655 M, Khalifah Usman mati terbunuh oleh pihak oposisi yang berasal dari orang Islam sendiri.” (hal. 73).
Paparan seperti itu tentu sangat tendensius. Tapi, itulah yang diajarkan kepada siswa dan santri-santri kita yang belajar sejarah melalui buku-buku seperti ini. Tentu saja akan sangat mudah terekam opini buruk terhadap Sayyidina Usman bin Affan pada benak anak-anak kita! Tapi, apakah guru, kepala sekolah, pimpinan pesantren, selama ini begitu banyak yang peduli dengan pengajaran sejarah di SMA semacam ini?
Padahal, Sayyidina Usman r.a. adalah salah satu KhulafaurRasyidin, menantu Rasulullah saw, dan salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga. Beliau adalah orang yang sangat kaya raya dan sangat dermawan. Beliau adalah pemimpin pertama dalam rombongan Hijrah ke Habsyah. Beliau berulangkali berjihad di medan perang. Hidupnya, hartanya, dirinya sudah diserahkan untuk Islam. Adalah sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan fakta sejarah, bahwa Sayyidina Usman digambarkan sebagai pemimpin yang gila kuasa. Kita bertanya, apakah beradab jika menuduh sosok yang begitu mulia dengan tudingan: “lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”
Bayangkan, jika ada buku sejarah menulis: “Soekarno lebih mendahulukan kepentingan keluarganya dibandingkan kepentingan negaranya?” atau “SBY lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”
Apakah keluarga Soekarno atau SBY bisa menerima uraian seperti itu?
Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan yang keliru semacam ini? Tentu saja, orangtua-lah yang paling bertanggung jawab. Bukan hanya guru atau sekolah atau pesantren. Kita berharap, para guru dan orangtua mau peduli dengan isi buku pelajaran yang keliru semacam ini.
Padahal, Sayyidina Usman r.a. adalah salah satu KhulafaurRasyidin, menantu Rasulullah saw, dan salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga. Beliau adalah orang yang sangat kaya raya dan sangat dermawan. Beliau adalah pemimpin pertama dalam rombongan Hijrah ke Habsyah. Beliau berulangkali berjihad di medan perang. Hidupnya, hartanya, dirinya sudah diserahkan untuk Islam. Adalah sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan fakta sejarah, bahwa Sayyidina Usman digambarkan sebagai pemimpin yang gila kuasa. Kita bertanya, apakah beradab jika menuduh sosok yang begitu mulia dengan tudingan: “lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”
Bayangkan, jika ada buku sejarah menulis: “Soekarno lebih mendahulukan kepentingan keluarganya dibandingkan kepentingan negaranya?” atau “SBY lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”
Apakah keluarga Soekarno atau SBY bisa menerima uraian seperti itu?
Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan yang keliru semacam ini? Tentu saja, orangtua-lah yang paling bertanggung jawab. Bukan hanya guru atau sekolah atau pesantren. Kita berharap, para guru dan orangtua mau peduli dengan isi buku pelajaran yang keliru semacam ini.
*****
Sebagian akademisi masih ada yang meragukan dan salah paham tentang makna “Islamisasi ilmu” dan “Islamisasi pendidikan”. Padahal, tindakan Islamisasi adalah proses yang wajar dari aktivitas seorang Muslim. Sangat wajar jika seorang Muslim melakukan Islamisasi, sebagaimana kaum liberal melakukan liberalisasi, kaum komunis melakukan komunisasi, kaum sekular melakukan sekularisasi.
Islamisasi bukanlah gagasan utopis. Untuk membuktikannya, Program Pasca Sarjana Pendidikan Islam -- UIKA pada 29 Juni 2011, tepat 27 Rajab 1432 H, kembali menggelar seminar bertema Islamisasi Pendidikan. Tapi, kali ini seminar mengambil tema yang lebih membumi, dengan peluncuran buku Sejarah Nasional untuk SMA. Seminar bekerjasama dengan Andalusia Islamic Education & Management Service (AIEMS) dengan mengambil tema “Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Urgensi dan Aplikasinya Pada Kurikulum SMA, bertempat di Aula Gedung Pascasarjana, Universitas Ibn Khaldun Jl. KH Sholeh Iskandar KM 2 Bogor.
Pembicara dalam seminar tersebut ialah Prof. Dr. Didin Hafiduddin (Direktur Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun), Dr. Adian Husaini (Kaprodi Pendidikan Islam Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun), Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum (Penulis buku Sejarah SMA, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia), Mohamad Ishaq, M.Si (Penulis buku Fisika SMA, Kandidat Doktor Ilmu Fisika, Institut Teknologi Bandung), Ir. Budi Handrianto, M.PdI (Peneliti INSISTS), dan Erma Pawitasari, M.Ed (Direktur AIEMS)
Sejarah merupakan hal prinsip dalam kehidupan manusia. Al-Quran begitu banyak bercerita tentang sejarah umat terdahulu, baik dalam ayat-ayat Makkiyah atau Madaniyah. Karena itu, kita sangat bersyukur dan menyambut gembira terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA: Perspektif Baru, yang diterbitkan atas kerjasama antara Pasca Sarjana UIKA, DDII, dan AIEMS.
Semoga buku ini menjadi langkah awal untuk menarik gerbong Islamisasi Ilmu dan Pendidikan di Indonesia, khususnya di sekolah-sekolah Islam dan pondok-pondok pesantren. Islamisasi ilmu-ilmu pengetahuan, apalagi yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan hal yang sangat mendesak, dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Islamisasi dilakukan untuk mengembalikan ilmu pada tempat dan fungsinya yang utama, yakni untuk menjadikan anak didik menjadi manusia-manusia yang beradab, bukan manusia biadab. Yakni, manusia yang baik (good man), yang mengenal Allah, ikhlas menjadikan Rasulullah saw sebagai uswah hasanah, meletakkan ulama sebagai pewaris Nabi, memahami kedudukan ilmu, mampu meletakkan para pahlawan sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah, serta mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya agar dia menjadi Abdullah dan khalifatullah yang baik.
Di dalam Tafsir al-Azhar, saat menguraikan makna QS al-Maidah ayat 57-63, Prof. Hamka, membuat uraian khusus tentang rangkuman strategi misionaris Kristen dan orientalis dalam menyerang Islam. Hamka, antara lain mencatat: “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah. Orang Mesir lebih memuja Fir’aun daripada mengagungkan sejarah Islam…”. (Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar -- Juzu’ VI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 300.)
Uraian Hamka ini sangat menarik. Di dalam buku Tafsir yang ditulis di dalam penjara Orde Lama di era 1960-an tersebut, Hamka sudah menorehkan keprihatinan yang mendasar tentang pendidikan sejarah di Indonesia. Camkan kata-kata Buya Hamka ini: Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah.”
Pengajaran sejarah yang lebih membesar-besarkan warisan Hindu – ketimbang Islam – semacam itu memang dilakukan dengan perencanaan yang matang.
Pakar sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebutkan bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh ratusan juta jiwa. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hal. 169-179)
Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas lalu mengkritik secara tajam teori para orientalis Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indnesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis:
“Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), hal. 41.)
Uraian Prof. Naquib al-Attas itu membuka mata kita, bahwa selama ini ada yang salah – secara mendasar – dalam pendidikan sejarah di sekolah-sekolah kita. Hindu-Budha diletakkan sebagai jati-diri bangsa, sedangkan Islam hanya diletakkan sebagai pelapis kayu, yang tidak meresap ke dalam jati diri bangsa. Tidak mengherankan, jika kemudian, simbol-simbol Islam dijauhkan dari berbagai aspek kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Secara ekstrim, rezim Orde Baru pernah berusaha menggusur berbagai identitas Islam dari kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan menggusur istilah-istilah Islam dan menggantikannya dengan istilah-istilah Jawa atau Hindu.Jika anda masuk ke Kedutaan Indonesia di luar negeri, tengoklah, apakah di sana dipajang patung-patung dan candi, atau foto-foto masjid dan pesantren? Setidaknya saya pernah dua kali mengisi acara pengajian di Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri. Satu di sebuah negara Barat, dan satu di negeri Muslim. Saat memasuki ruang depan kantor KBRI, saya menjumpai sejumlah patung ini dan itu, replika candi ini dan itu. Saya tanyakan kepada seorang pejabat kedutaan, bukankah Indonesia adalah negeri Muslim, satu negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia? Mengapa tidak dipasang – misalnya -- foto Masjid Demak, Masjid Menara Kudus, foto sejumlah pesantren, dan sebagainya -- yang juga merupakan peninggalan sejarah penting di Indonesia?
Memang, peradaban Islam adalah peradaban ilmu, sehingga ulama-ulama Islam lebih mementingkan budaya ilmu ketimbang budaya batu. Tetapi, tradisi seni arsitektur Islam juga dikenal sangat tinggi dan mengilhami beberapa arsitektur modern di Barat. Saya pernah mengunjungi satu museum Yahudi dan penjaganya mengakui beberapa jenis ukiran di situ terpengaruh oleh arsitektur Islam.
Salah satu warisan peradaban Islam yang penting adalah institusi-institusi pendidikan Islam yang khas Indonesia, seperti pondok pesantren. Sebut salah satu pesantren tertua di Jawa Timur, misalnya, Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, yang sudah berumur ratusan tahun. Data sejarah menunjukkan, pesantren ini berdiri tahun 1718. Hingga kini, pesantren Sidogiri masih eksis dengan ribuan santri, serta sistem pendidikan yang unik, mandiri, bahkan sama sekali tidak bergantung dengan bantuan pemerintah.
Mungkin, dalam perspektif pendidikan Sejarah Nasional Indonesia, keberadaan sebuah pondok pesantren besar dan bersejarah seperti Sidogiri tidak dianggap lebih penting ketimbang sebuah candi. Tradisi keilmuan Islam yang bertahan ratusan tahun, tidak dianggap penting bagi pembangunan bangsa. Wallahu a’lam bil-shawab.
Tentu, kita tidak bisa menyalahkan begitu saja para pejabat kita. Sebab, pemikiran mereka tentang sejarah dan peradaban bangsa, adalah produk pendidikan sejarah saat mereka duduk di bangku sekolah. Ribuan kuisener yang pernah saya sebarkan ke lembaga-lembaga pendidikan Islam, menunjukkan, bahwa hampir semua santri, siswa, bahkan guru berpendapat, bahwa puncak peradaban Indonesia sebelum kemerdekaan dicapai saat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada di Kerajaan Majapahit, yang berhasil menyatukan Nusantara.
Jika kita tanya kepada mereka, kapan sebenarnya Majapahit menyatukan Nusantara dan dengan cara apa mereka menyatukan Nusantara, mereka hanya terbengong. Sebuah buku Sejarah untuk SMA Kelas XI, karya I Wayan Badrika (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), misalnya, menulis, bahwa saat pelantikannya sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa (Tan Amukti Palapa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil disatukan di bawah Panji Kerajaan Majapahit.
“Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya. Selama hidupnya, Patih Gajah Mada menjalankan politik persatuan Nusantara. Cita-citanya dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan Peristiwa Sunda yang terjadi tahun 1351 M.” (hal. 48).
Tentang keruntuhan Kerajaan Majapahit, ditulis: “Suatu tradisi lisan yang terkenal di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat serangan dari pasukan-pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Patah (Demak).” (hal. 49). Opini apa yang ingin disampaikan dengan paparan semacam ini kepada siswa atau santri yang belajar sejarah melalui buku seperti ini?
Mudah ditebak! Bahwa, di masa lalu, Indonesia pernah mencaai kejayaan, pernah bersatu, pernah hebat, yakni di bawah Kerajaraan Majapahit. Lalu, datanglah Islam, dengan tokohnya Raden Patah, menyerbu Majapahit dan runtuhlah Majapahit! Jadi, Islam bukanlah faktor pemersatu bangsa, tetapi Islam datang untuk menghancurkan persatuan yang diperjauangkan oleh Gajah Mada. Karena itu, Raden Patah digambarkan sebagai penghancur prestasi Gajah Mada yang berhasil menyatukan Nusantara! Wallahu a’lam bil-shawab.
Cobalah tanyakan kepada siswa atau anak-anak kita, apakah mereka lebih kenal dan kagum pada Gajah Mada atau Raden Patah? Sekitar 50 tahun lalu, Buya Hamka sudah menulis dalam Tafsirnya tentang fenomena pendidikan sejarah di Indonesia tersebut!
Yang disebut tradisi lisan terkenal di Jawa yang memberitakan tentang keruntuhan Majapahit akibat diserang Raden Patah kemungkinan besar adalah Serat Darmogandul. Dalam Darmogandul disebutkan, bahwa dalam menyerang Mojopahit Raden Patah melakukan konspirasi dengan para wali. Selama ini, Darmogandul juga sudah dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia. Misalnya, buku karya Marwati D. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia II, (Balai Pustaka, Jakarta, 1992) menulis seputar keruntuhan Majapahit:
“.... Bagaimana proses penaklukan Majapahit oleh Demak dan bagaimana nasib para penguasa Majapahit sesudah penaklukan itu tidak diketahui secara pasti. Sumber-sumber tradisi seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, dan Serat Darmagandul hanya dengan samar-samar memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana berlangsungnya penaklukan Majapahit oleh Demak.”
Paparan tentang keruntuhan Majapahit seperti itu bertentangan dengan fakta sejarah yang sebenarnya. Pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibat Perang Paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Kitab Darmogandul bisa dijadikan salah satu contoh adanya upaya sistematis untuk memberikan citra negatif terhadap Islam dan menanamkan kebencian kepada para wali serta agama Islam. Para wali disebut “walikan” (kebalikan), artinya orang yang tidak tahu balas budi. Diberi kebaikan oleh Raja Majapahit, tetapi malah menikam dari belakang. Digambarkan dalam kitab ini, bagaimana bentuk provokasi Sunan Bonang terhadap Raden Patah, agar menyerang Majapahit.Ditulis dalam Darmagandul (terjemahan Indonesianya: “Rusaklah Keraton Majapahit, dengan secara halus tersamar, jangan sampai didengar orang banyak, menghadaplah pada hari bakda Mulud (hari peringatan Maulid Nabi), persiapkan kelengkapan para prajurit, semua prajurit yang kamu miliki, juga bawahanmu yang telah masuk Islam kumpulkanlah di Demak. Pura-pura saja (mengundang mereka) untuk mendirikan masjid, setelah semuanya berkumpul aku (Sunan Bonang) yang akan membuat akal, kepada semua Sunan, para Tumenggung, semua prajurit yang telah menganut agama Islam niscaya akan menurut kepadaku ...”).
Jadi, itulah salah satu cara mengecilkan makna kehadiran Islam di Indonesia, melalui buku Sejarah Nasional, yang sudah diajarkan kepada jutaan anak-anak kita di berbagai lembaga pendidikan Islam. Entah berapa banyak guru dan orangtua yang mau peduli dengan masalah-masalah seperti ini. *
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM
Tulisan Kedua
Red: Panji Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar