Jumat, 16 September 2011

Akhiri Kecemasan Belajar


oleh : utomo dananjaya


Agus Condro mantan anggota DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), orang pertama yang mengungkap, dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) tahun 2004, DPR disuap agar memenangkan Miranda Swaray Goeltom. Anggota Komisi IX DPR yang bertugas melakukan uji kelayakan terhadap calon Deputi Gubernur Senior BI menerima cek perjalanan. Agus juga menerima cek perjalanan senilai Rp 500 juta. Ia melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari laporan itu, KPK menyelidiki skandal suap melibatkan puluhan anggota DPR. 

Upaya Agus mendapat serangan. PDI-P yang mengantarkan Agus menjadi anggota DPR dua periode memecatnya dari keanggotaan partai. Dia dituding membongkar kasus suap karena tidak terima istrinya tak direstui PDI-P maju sebagai calon Bupati Batang, Jawa Tengah. Namun Agus jalan terus. Keteguhan sikap itu bisa dipahami karena langkahnya menjadi whistle blower (pengungkap aib). Skandal suap ini ternyata mendapat dukungan dari istri dan anaknya (Kompas 17/6).

Oleh karena itu ketika muncul berita nyontek massal di Sekolah Dasar Gadel 2 Surabaya. Atas keterangan Aam yang didukung oleh ibunya, Nyonya Siami, menarik perhatian orang menumbuhkan harapan.

Nasib Aam (13 th) Alifah Ahmad Maulana, siswa Sekolah Dasar Gadel 2, Surabaya, Jawa Timur, bersama keluarga diperkenalkan sebagai keluarga jujur yang justru tersingkir dari rumahnya pada acara HUT Ke-28 Radio Suara Surabaya, Minggu tanggal 11 Juni. Siami, ibu Aam tidak pernah menyangka bahwa pilihannya untuk bersikap jujur menimbulkan konsekuensi besar. Meski dia bersama keluarganya terusir dari rumah karena trauma, ia tidak menyesal atas tindakannya. “Sebelum mengungkapkan soal contek massal, saya merasa terbebani. Sekarang saya sudah lega. Saya tidak menyesal meskipun tidak menyangka akan terjadi seperti ini. Selama saya benar, saya yakin Alloh melindungi saya,” ujar warga Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya Jawa Timur. Saat ini Siami bersama suaminya, Widodo, dan kedua anaknya memilih tinggal di Gresik. Mereka belum berani kembali ke rumah sejak di evakuasi polisi dari acara pertemuan dengan warga di Balai RW 02 Gadel.

Dua kejadian ini, muncul diantara banyak kejadian dimana keluarga atau institusi dengan gagah berani melindungi tertuduh terlibat perkara korupsi. Adang Darajatun anggota DPR partai PKS mantan Wakapolri tidak mau mengungkapkan dimana istrinya Nunun Nurbaeti berada, seperti anggota partai DPP Demokrat “yang menjenguk Nazaruddin di Singapura tidak memulangkan ke tempat tinggal Nazaruddin.” Oleh karena itu, Bambang Harimurti bukan hanya kecewa bahwa keberanian Agus Condro membongkar aib teman-temanya menerima suap di vonis hukuman penjara 1 tahun 3 bulan sama 13 orang, di samping 13 orang yang sedang menunggu putusan pengadilan.

Ketidakjujuran telah menjadi masalah yang sangat kronis dan sistemis di negeri ini, bahkan “meracuni” anak-anak, padahal anak-anak di jenjang pendidikan dasar sebenarnya menjadi harapan untuk memperbaiki masa depan bangsa Indonesia yang kini sedang diterpa krisis moral dan karakter.

Seorang anak umur 13 tahun dengan dukungan ibunya membongkar kecurangan dalam Ujian Nasional, “Nyontek Massal”, berita ini telah mendorong Bambang Harimurti, Arif Rahman dan lain-lain mencanangkan gerakan nasional kejujuran untuk memperbaiki karakter bangsa. Sanksi sosial tak berlaku lagi sebagian masyarakat membiarkan sampai seorang anak seperti Aam dengan dukungan ibuya berani membongkar kecurangan.

Guru dan Kepala Sekolah Menjadi Korban

Sementara Mentri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, mengatakan pihaknya menghargai upaya keluarga Nyonya Siami yang mengungkap kecurangan Ujian Nasional itu bahwa kecurangan massal Ujian Nasional di SDN Gadel Surabaya tidak terbukti. Mendiknas menjelaskan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur sudah melakukan penilaian jawaban dari 60 siswa tidak menunjukkan adanya kesamaan identik antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Walikota Surabaya Tri Rismaharini tetap menjatuhkan sanksi terhadap guru yang menganjurkan muridnya mencontek.

Sejak tahun 2005 sekelompok aktivis pendidikan bersama orang tua murid mendakwa pemerintah bahwa Ujian Nasional telah menimbulkan kecemasan dan ketakutan sehingga bisa digolongkan tidak melindungi Hak Asasi Anak. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dan terakhir 2009 diputuskan Mahkamah Agung memperkuat keputusan pengadilan di bawahnya menolak Kasasi tergugat (presiden, Menteri Pendidikan dan BSMP) dan membenarkan penggugat bahwa pemerintah sudah tidak memenuhi Hak Asasi terutama Hak anak dan pendidikan. Tapi keputusan Mahkamah Agung tersebut diabaikan dan Ujian Nasional tetap diselenggarakan karena “sudah diselenggarakan dari dulu”. Menurut mantan wakil presiden Jusuf Kalla ujian bisa mendorong siswa untuk kerja keras, Aburizal Bakrie sebagai menteri koordinator Kesra mengatakan bahwa kegagalan dalam kelulusan adalah tanda dari kompetisi, menteri Pendidikan Bambang Soedibjo menganggap bahwa siswa yang gagal dalam UN karena malas.

Sikap para pejabat seperti ini menggambarkan pandangan tidak menghargai hak anak bertentangan dengan prinsip menciptakan pendidikan yang menyenangkan dalam penjelasan PP Nomor 19-2005 tentang Standarisasi Pendidikan Nasional dalam penjelasannya, tiga prinsip perubahan Pendidikan Nasional meliputi:

(1) Mengutamakan proses membelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya. Bukan pengajaran, bimbingan dan pelatihan.

(2) Mengutamakan tujuan membangun manusia berbudaya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun martabat bangsa, bukan menyiapkan tenaga kerja siap pakai.

(3) Mengutamakan suasana belajar yang menyenangkan dan membebaskan agar peserta didik kreatif dan percaya diri, bukan suasana yang suram dan mencemaskan.

Perubahan paradigma tersebut bertentangan dengan sikap dan kebijakkan para pejabat diatas, bahkan bertentangan dengan hukum. Tahun 2004 kecurangan dalam UN cukup menindak guru dan kepala sekolah atas dasar kecurangan kepala sekolah dan guru atas investigasi Dinas Pendidikan. Pada tahun 2011 ini setelah Nyonya Siami berhasil membongkar peristiwa nyotek massal konon saudara Bambang Harimurti dibanjiri laporan kecurangan dari berbagai pelosok Indonesia, para pelapor bukan ingin guru dan kepala sekolah untuk ditindak karena kesalahannya tapi mengharapkan kebijakan Ujian Nasional ditinjau kembali atau diperbaiki.

Kebijakan Kemendiknas sejak tahun 2010, tahun pertama Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 , Muhammad Nuh bersama-sama pejabat tinggi dan kepala Kanwil Depdiknas menandatangani Fakta Kejujuran dan melakukan pengawasan pada pembagian soal, pada tahun 2011 di buat lima macam soal untuk satuan pendidikan menghindari kecurangan tetapi Balitbang PGRI menyatakan percuma untuk menganjurkan kejujuran pada guru dan kepala sekolah sebab menurut dugaannya para guru dan kepala sekolah kurang mempunyai kiat untuk “menolong” muridnya mendapatkan kelulusan dalam UN, usaha memperketat penyelenggaraan Ujian Nasional termasuk sholat Istighosah tiga malam sebelum ujian tahun 2011, ternyata tidak bisa mencegah guru dan kepala sekolah mencurangi Ujian Nasional.

Sikap Menteri Pendidikan yang selalu berpendapat tidak ada kecurangan, pelaku kecurangan kepala sekolah dan guru telah ditindak menggambarkan sikap yang tidak mau berubah dari kebijakan menyelenggarakan Ujian Nasional walaupun secara teknis di usulkan oleh BSNP tetapi yang memutuskan dan bertanggung jawab tetap Menteri Pendidikan. Nampaknya, menegakkan kejujuran tidak cukup dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya testimoni kecurangan menuntut guru dan kepala sekolah ditindak mengundang Nyonya Siami menghadap presiden atau dipanggil presiden tindakan itu tidak efektif sepanjang tidak melepaskan anak-anak dan tekanan kecemasan.

Dasar Hukum Evaluasi

Sesungguhnya undang-undang sistim pendidikan nasional No. 20 tahun 2003 tentang evaluasi Pasal 57 berbunyi : (1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. (2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan dilakukan pada jalur formal dan non formal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.

Pasal 58 berbunyi: (1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. (2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencepaian standar nasional pendidikan. Pasal 57 mengatur hak pemerintah pusat, bahkan ayat 2 memperluas evaluasi bukan sekedar pada peserta didik, tetapi juga pada lembaga dan program pendidikan. Pasal 58 mengatur bahwa evaluasi peserta didik dilakukan oleh pendidik. Bisa diambil kesimpulan bahwa Ujian Nasional yang mengevaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik bukan oleh pemerintah pusat.

Evaluasi yang dilaksanakan secara nasional dalam rangka pengendalian mutu pendidikan berbeda dengan evaluasi hasil belajar peserta didik yang dilakukan pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

Tiga macam evaluasi : (1) Evaluasi secara nasional, (2) Evaluasi hasil belajar peserta didik, dan (3) Ujian penyelesaian suatu jenjang pendidikan. Adalah berbeda tujuan dan penyelenggaran. Tetapi oleh BSNP disatukan dalam surat keputusan Menteri No. 47 Tahun 2007 dengan sebutan UJIAN NASIONAL dengan tiga macam tujuan untuk kepentingan pemerintah pusat satuan pendidikan dan pemberian ijazah atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan menjadi satu ujian yakni UJIAN NASIONAL , inilah dasar hukum menyimpang dari Undang-undang pendidikan nsional, pengingkaran terhadap keputusan Mahkamah Agung, Hak Pendidik dalam menyelenggarakan evaluasi hasil belajar untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar serta evaluasi penyelesaian suatu bidang pendidikan berbeda dengan evaluasi dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional.

Oleh karena itu, tujuan evaluasi dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional harus dibedakan dengan evaluasi hasil belajar peserta didik. Ujian Nasional yang dari guru diselenggarakan “yang telah melahirkan kecemasan peserta didik, orang tua, guru dan kepala sekolah harus dirubah dengan berani penyelenggaraannya, Ujian Nasional untuk pengendalian mutu adalah kepentingan Kementerian Pendidikan Nasional” dan ini adalah sebagai pertanggungjawaban Menteri pendidikan nasional sebagai penyelenggara Ujian Nasional. ini biasa disebut pemetaan mutu pendidikan, bentuk pemetaan semacam ini Metode Sampling dalam jumlah terbatas tidak perlu semua sekolah SD, SMP dan SMA SMK. Masing-masing seribu orang untuk jenjang pendidikan yang tersebar di seluruh daerah akan bisa memberikan peta untuk pendidikan yang diberikan dasar untuk menyusun kebijaksanaan Menteri Pendidikan.

Solusi

Sesuai dengan fungsinya BSNP harus membuat konsep Ujian Nasional untuk Metode Sampling atau mengundang LSM Pendidikan atau membayar Lembaga Konsultasi Pendidikan untuk menyelenggarakan Ujian Nasional secara sampling seperti lembaga-lembaga survei pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah dengan masing-masing koresponden mereka bisa menghasilkan informasi yang persis sama dengan pemilihan umum atau pilkada. BSNP, LSM Pendidikan atau Konsultan Pendidikan bisa menjadikan hasil yang lebih baik daripada Ujian Nasional yang ditandai oleh kecurangan.

Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Tiap warga berlomba menghianati bangsa dan sesamanya. Rasa saling percaya memudar; hukum dan institusi lumpuh, sehingga tidak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan, ketamakan dan hasrat. Meraih kehormatan rendah merajalela, kebaikan di musuhi, kejahatan diagungkan.

Kehidupan politik kita merefleksikan nilai-nilai moralitas kita, sebegitu jauh kehidupan public, menampilkan nilai-nilai buruk. Partai Politik, direduksi sekedar menjadi perjuangan kekuasaan ketimbang proses pencapaian kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah, seperti air dan minyak. Akhirnya, kebajikan dasar kejidupan bangsa seperti: keberadaban, tanggung jawab, keadilan, dan integritas runtuh. (Radar Pancadahana, Gatra)

Adanya krisis yang kita hadapi, mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya, kita memerlukan lebih sekedar melipat gandakan usaha dan memperbaiki metode. Kita memerlukan perubahan paradigma. Visi ini harus mempertimbangkan kenyataan, bahwa krisis nasional ini berakar jauh pada krisis karakter yang melanda jiwa bangsa.

Suatu usaha penyembuhan diperlukan dengan memperkuat kembali pundamen etis dan karakter bangsa, berlandaskan dasar falsafah dan pandangan dunia bangsa Indonesia sendiri. Metode pendidikan karakter yang tepat, dengan pembelajaran aktif mengikuti cara pada pendiri bangsa menggali kembali mutiara terpendam, berargumen dan mengontekstualisasikan dalam kehidupan semasa dan mengupayakan aktualisasinya dalam kehidupan masa kini dan masa depan.

Menurut alam pikiran ini, negara diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan karakter kehidupan warganya.

Oleh karena itu Ujian Nasional yang melahirkan kecemasan pada peserta didik, orang tua, guru, dan kepala sekolah harus dirubah formatnya: (1) Ruang lingkup nasional menjadi sampel dalam tingkat nasional. (2) Waktu penyelenggaraan pada kelas 5, 8, dan 11. (3) Tidak dikaitkan dengan prestasi belajar dan penyelesaian suatu jenjang pendidikan (Tidak dikaitkan dengan penyelesaian akhir suatu jenjang pendidikan) [.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar