Sabtu, 08 Oktober 2011

Antara Wahabi dan Isu Terorisme


Republika, Jumat, 07 Oktober 2011 pukul 11:05:00


Antara Wahabi dan Isu Terorisme


(Tanggapan untuk Tulisan KH Said Aqil Siradj)

Ole
h Artawijaya
Wartawan dan Penulis Buku

Pascaserangan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, perbincangan mengenai kaitan antara terorisme dan doktrin Wahabi kembali mencuat di media massa. Setidaknya, hal itu tecermin dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, pada harian ini (3/10/2011). Artikel berjudul "Radikalisme, Hukum, dan Dakwah" ini menarik untuk dicermati karena Kiai Said telah mengaitkan antara pergerakan dakwah Wahabi dan radikalisme. Beliau bahkan membuat istilah baru tentang dakwah Wahabi, yaitu "ideologi puritanisme radikal".

Kita tentu bersyukur seorang ketua umum sebuah organisasi massa besar seperti KH Said Aqil Siradj begitu peduli terhadap teror bom yang banyak menimbulkan korban dari masyarakat yang tak bersalah. Bahkan, sebenarnya bukan hanya KH Said Aqil Siradj, tokoh yang sering dikait-kaitkan dengan kasus terorisme, seperti Ustaz Abu Bakar Ba'asyir (ABB), pun mengecam aksi bom di Cirebon dan Solo sebagai tindakan ngawur yang jauh dari pemahaman syariat. Pada beberapa kesempatan, ABB menyatakan bahwa Indonesia adalah wilayah aman yang karenanya Islam harus ditegakkan lewat cara-cara damai.

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari artikel Kiai Said di atas, yang terkesan seperti menabur angin, mengenai siapa saja yang dianggap sebagai Wahabi. Dalam beberapa alineanya, artikel tersebut bahkan seperti mengumbar stigma yang gebyah uyah. Jika tak dikritisi, tulisan tersebut bisa menimbulkan ragam penafsiran di masyarakat dan generalisasi terhadap kelompok yang dituduh mengusung dakwah Wahabi. Dengan demikian, hal ini bisa berpotensi memicu konflik sosial di akar rumput sebagaimana terjadi pada sebuah pengajian hadis di Klaten, Jawa Tengah, yang nyaris dipaksa bubar karena dianggap bagian dari dakwah Wahabi.

Di antara kalimat yang bisa menimbulkan bias pemahaman dan stigma dari tulisan KH Said Aqil adalah, "Kita bisa mencermati pergerakan paham Wahabi di negeri kita yang secara mengendap-endap telah memasuki wilayah pendidikan dengan menyuntikkan ideologi puritanisme radikal, semisal penyesatan terhadap kelompok lain hanya karena soal beda masalah ibadah lainnya. Di berbagai daerah, bahkan sudah terjadi 'tawuran' akibat model dakwah Wahabi yang tak menghargai perbedaan pandangan antar-Muslim. Model dakwah semacam ini bisa berpotensi menjadi 'cikal bakal' radikalisme."

Pada alinea lain, KH Said Aqil mengusulkan agar dilakukan "sterilisasi" masjid-masjid yang berpotensi menjadi sarang kelompok puritan radikal, sebuah kelompok yang menurutnya sering kali menimbulkan "tawuran" di tengah masyarakat. Dalam kesempatan lain, KH Said Aqil bahkan meminta masyarakat untuk mewaspadai 12 yayasan dari Timur Tengah yang diduga mendapat suntikan dana dari kelompok Wahabi. Tulisan KH Said Aqil Siradj yang dimuat dalam harian ini seolah menyatakan bahwa memerangi ideologi teror sama dengan memerangi ideologi puritan radikal yang diusung oleh kelompok yang ia sebut sebagai Wahabi. Kelompok yang saat ini, menurutnya, mengendap-endap di dunia pendidikan, membawa suntikan beracun berisi "ideologi puritan radikal".

Antara Wahabi dan terorisme

Stigma Wahabi merujuk pada sosok ulama abad ke-18 bernama Syekh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimy an-Najdi. Gerakan dakwahnya mengusung tajdid dan tashfiyah (pembaruan dan pemurnian) akidah kaum Muslimin dari beragam kemusyrikan dan amaliah yang tidak diajarkan oleh Islam. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang dai yang tak pernah menyebut kiprah dakwahnya dengan penamaan dakwah Wahabi atau tak pernah mendirikan organisasi dakwah bernama Wahabi. Istilah Wahabi baru muncul belakangan. Itu pun dengan tujuan stigmatisasi oleh mereka yang tak setuju dengan pemikiran yang diusung dalam dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab.

Di Indonesia, stigma Wahabi juga pernah dilekatkan pada ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis). Tokoh-tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, Syekh Ahmad Syurkati, A Hassan, dianggap sebagai pengusung paham Wahabi di Indonesia. Bahkan, jauh sebelum itu, pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol pun pernah disebut sebagai pengusung dakwah Wahabi. Baik Syekh Muhammad bin Abdul Wahab maupun generasi dakwah selanjutnya di seluruh dunia yang sepaham dengan pemikirannya tak pernah ada yang dengan tegas menyatakan dirinya sebagai Wahabi.

KH Said Aqil Siradj dalam tulisannya tak menjelaskan siapa saja atau kelompok mana saja yang masuk dalam kategori puritan radikal pengusung dakwah Wahabi. Ia hanya menjelaskan, kelompok tersebut tak menghargai perbedaan dan mudah memberikan label sesat pada sesama Muslim lainnya. Sama tak jelasnya ketika ia melontarkan pernyataan bahwa ada 12 yayasan milik Wahabi yang perlu diwaspadai yang kini beroperasi di Indonesia. Apa saja yayasan itu, mengapa perlu diwaspadai, adakah pelanggaran baik dari sisi hukum nasional ataupun hukum Islam dari 12 yayasan tersebut sehingga layak untuk diwaspadai, tak pernah dijabarkan. Sekali lagi, apa yang dilontarkan KH Said Aqil seperti menabur angin, menerpa siapa saja yang dianggap sebagai Wahabi.

Jika merujuk pada banyak kasus yang terjadi di basis-basis NU, kelompok puritan radikal atau Wahabi yang dimaksud KH Said Aqil adalah mereka yang membid'ahkan tahlilan, tawasul, ziarah kubur, Maulid Nabi, dan amaliah lainnya yang menjadi tradisi di kalangan Nahdliyin. Kriteria inilah yang sering diungkapkan oleh KH Said Aqil di media massa ketika menyoroti kiprah kelompok yang ia sebut sebagai Wahabi. Namun, adakah kaitannya antara kelompok yang berdakwah untuk menjauhi bid'ah dalam urusan ibadah dan kelompok teroris?

Nyatanya seluruh ormas Islam di Indonesia, baik yang meyakini bolehnya tahlilan maupun tidak, sepakat bahwa aksi pengeboman di zona damai adalah perbuatan yang diharamkan Islam, apalagi pengeboman yang terjadi di tempat ibadah. Bom yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan jihad tentu mencoreng nama Islam. Islam mengajarkan syariat jihad dengan batasan dan aturan yang ketat dan rinci. Jihad tidak mengedepankan hawa nafsu dan serampangan. Jihad sangat menghargai nilai-nilai dan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak sipil. Dalam perang, musuh yang menjadi target adalah para combatan dan basis-basis militer, bukan orang-orang sipil, fasilitas umum, dan tempat-tempat ibadah.

Akhirulkalam, menyebut dakwah Wahabi sebagai kontributor aksi teror bom tak pernah bisa dibuktikan dengan jelas. Stigmatisasi itu tak lebih daripada memukul bayang-bayang. Kita tentu tak sepakat dengan sekelompok orang yang mudah mengafirkan Muslim lainnya hanya karena urusan khilafiyah. Kita juga tak setuju dengan pola-pola dakwah yang eksklusif, merasa paling benar, dan jauh dari nilai-nilai akhlakul karimah. Jika ada perbedaan dalam urusan dakwah, selesaikan dengan jalan dialog. Begitupun jika terjadi perbedaan pendapat dalam hal furu'iyah, kedepankanlah sikap tasamuh (toleran). Stigmatisasi yang tak jelas di tengah prahara terorisme akan menambah beban masalah yang melebar ke mana-mana. Selain persoalan ideologi yang menyimpang, akar dari terorisme adalah ketidakadilan global yang melanda negeri-negeri Muslim.
(-)
Index Koran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar