Kamis, 06 Oktober 2011

Pemimpin Dunia Islam Yang Baru



Oleh: Amran Nasution

SAMPAI musim gugur 2009, upaya mendamaikan Serbia – Bosnia belum berhasil.  Sejumlah negara Barat  gagal mempertemukan kedua negara. Maklumlah Bosnia Herzegovina sulit menerima  pembunuhan massal yang dilakukan orang Serbia dengan motif agama.

Maka datanglah Ahmet Davutoglu, Menteri Luar Negeri Turki. Kedua negara adalah tetangga Turki.  Serbia berpenduduk Kristen Ortodoks sedang Bosnia, seperti Turki, berpenduduk Muslim. Di zaman Kekaisaran Ottoman (Ottoman Empire) kedua negara adalah taklukan Turki.

Sekitar 6 bulan Davutoglu mondar-mandir mendatangi kedua negara. Setidaknya 5 kali ia kunjungi Belgrade, ibukota Serbia, dan 7 kali ke Sarajevo (Bosnia).  Akhirnya perdamaian tercapai. Bosnia menerima penunjukan Duta Besar Serbia di Sarajevo dan menerima permohonan maaf  Serbia atas apa yang terjadi selama ini.   

Kenapa bisa? Bagaimana Davutoglu mendamaikan mereka? Dalam artikel yang ditulis James Traub  diThe New York Times 20 Januari 2011, Sang Menlu mengungkap rahasia suksesnya. Katanya, di suatu malam yang larut ia masih berunding dengan pemimpin Bosnia Haris Silajdzic di Bandar Udara Sarajevo. Sebagai seorang perokok berat, Silajdzic hampir tak berhenti merokok. Padahal Davutoglu – seorang Muslim yang taat – bukan perokok.

Tapi kali ini lain, Menlu Turki itu sengaja membawa rokok. ‘’Saya merokok dia pun merokok,’’ katanya. Davutoglu menjuluki gaya diplomasinya itu sebagai ‘’Smoking like a Bosnian’’ (Merokok seperti seorang Bosnia). Dengan sama-sama merokok ternyata persetujuan lebih gampang dicapai, perbedaan lebih mudah dijembatani.

Tapi apa pun, penggalan cerita ini hanya melengkapi kenyataan betapa Turki sekarang sedang tumbuh menjadi kekuatan baru yang berperan di Eropa dan Asia, terutama Timur Tengah. Pecahnya revolusi Arab – biasa disebut Arab Spring atau musim semi Arab -- dimulai dengan penggulingan penguasa Tunisia, Zine el-Abidine Ben Ali, disusul tumbangnya penguasa Mesir, Hosni Mubarak,  menurut sementara pengamat diilhami oleh keberhasilan Turki sebagai negara demokratis dan maju, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.  Atau meminjam ungkapan di dalam artikelThe New York Times tadi, Turki negara berpenduduk 74 juta itu (98% Muslim) dijadikan model (democratic role model) bahwa ternyata Islam bisa sesuai (compatible) dengan demokrasi.

Dan semua itu terjadi hanya dalam satu dekade terakhir. Sungguh menakjubkan. Babak ini dimulai ketika di tahun 2002, Partai AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) atau biasa dijuluki sebagai Partai Keadilan dan Pembangunan (Justice and Development Party) memenangkan pemilihan umum Turki. Partai berbasis Islam itu – pers Barat menyebutnya partai Islam moderat atau partai Islam yang lembut (mild Islamists) – dipimpin Recep Tayyip Erdogan dan Abdullah Gul. Setelah kemenangan itu Erdogan menjadi Perdana Menteri sedang Gul menjabat Menteri Luar Negeri dan kemudian Presiden Turki.

Sejak itu semua berubah. Turki tumbuh di atas 5 persen setahun, menjadikan negeri itu dalam pertumbuhan ekonomi hanya berada di bawah China dan India, dua negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Inflasi yang sebelumnya mencapai 45 persen bisa dikendalikan di bawah 10 persen. Tahun ini inflasi di Turki hanya 6%. Lalu pengangguran berhasil ditekan dan APBN-nya pun surplus. Dengan cepat Turki menguasai perdagangan dengan negara tetangganya Rusia serta kawasan Timur Tengah.

Kemajuan ekonomi menyebabkan AKP terus-menerus menang dalam tiap pemilihan umum. Sampai Pemilu Juni kemarin, sudah tiga kali berturut-turut partai itu unggul dengan sedikitnya 40% suara – bandingkan Partai Demokrat di sini yang cuma menang dengan 20 persen dalam Pemilu 2009. Kemenangan itu menyebabkan Erdogan mau pun Abdullah Gul memiliki rasa percaya diri berhadapan dengan kelompok militer yang selama ini menguasai jagad politik Turki.

Seperti diketahui dalam sejarah Turki, militer memiliki peran amat besar sejak Jenderal Mustafa Kemal Ataturk mengambil-alih kekuasaan pada 1923, menyusul kekalahan negara itu dalam Perang Dunia I dan kemudian ambruknya Kekaisaran Ottoman (disebut juga Turki Usmani) yang menguasai sebagian belahan dunia selama ratusan tahun. Kemal memodrenisasikan Turki dengan merombak total bekas kerajaan Islam itu menjadi sebuah negara Barat yang sekuler. Konstitusinya saja ia jiplak dari Swiss.

Sekali pun mulai tahun 1950-an Turki menggunakan sistem politik multi-partai tapi militer tetap punya kuasa mencampuri politik dengan dalih menjaga konstitusi. Sejak tahun 1960, tercatat sedikitnya militer menjatuhkan empat pemerintahan yang terpilih melalui Pemilu. Terakhir di tahun 1997, Perdana Menteri Necmetin Erbakan digusur militer dari kursinya.

Erbakan – teman mantan Presiden B.J Habibie – adalah pemimpin partai berbasis Islam, Refah. Ia dan partainya dituduh militer ingin mengubah konstitusi sekuler dengan Islam. Maka Refah dinyatakan sebagai partai terlarang, sedang Erbakan dilarang aktif dalam politik.

Erdogan dan Gul pada waktu itu adalah aktivis mudaRefah. Erdogan malah sempat ditangkap karena membaca puisi yang dituduh militer mengampanyekan Islam dan menghina militer. Puisi itu berjudul Asker Duasi (Doa Serdadu) ditulis Ziya Gokalp, pemikir, aktivis, dan penyair terkenal Turki sebelum Perang Dunia I. Padahal Gokalp seorang nasionalis dan ide-idenya mengilhami gerakan Kemal Attaturk. Begini syairnya: Masjid-masjid adalah barak kami, kubahnya helm kami, menaranya bayonet kami, para pengikutnya serdadu kami. Hanya membaca puisi seperti itu Erdogan diadili dan meringkuk 4 bulan di dalam penjara.

Maka saking khawatir dituduh militer macam-macam setelah AKP memenangkan Pemilu 2002, para calon anggota parlemennya yang terpilih ramai-ramai mencukur klimis jenggotnya sebelum pelantikan. Soalnya jenggot dan jilbab di mata militer adalah simbol atau atribut Islam yang bila dibawa ke dalam gedung parlemen bisa dianggap mencederai sekularisme. Dan itu berarti bisa dituntut di pengadilan. Hal seperti itulah yang banyak mewarnai Turki setelah revolusi Attaturk. Sementara dalam soal politik dan ekonomi negeri itu terus merosot.

Tapi sekarang semua sudah berubah. Akhir Juli lalu, pucuk pimpinan tertinggi militer Turki, Jenderal Isik Kosaner bersama Panglima Angkatan Darat, Panglima Angkatan Laut, dan Panglima Angkatan Udara, serempak mengundurkan diri dari jabatan.  Beberapa jam kemudian, Perdana Menteri Erdogan langsung menerima pengunduran dan ia pun segera mengangkat panglima baru menggantikan Jenderal Kosaner, yaitu Jenderal Necdet Ozel, sebelumnya Komandan Polisi Militer.

‘’Peristiwa ini akhir dari peran militer secara efektif di dalam Turki yang demokratis,’’ kata Asli Aydintasbas, kolomnis surat kabar yang terbit di Turki, Milliyet. ‘’Ini momen simbolik yang menunjukkan Republik Turki Pertama berakhir dan Republik Turki Kedua dimulai.’’ (The New York Times, 29 Juli 2011).

Bagaimana mungkin militer yang begitu perkasa dipinggirkan begitu saja? Sebenarnya sejak menjadi Perdana Menteri di tahun 2002, pelan-pelan Erdogan secara substansial memangkas peran politik militer. Sebagian ia lakukan melalui reformasi hukum dan undang-undang yang menyebabkan tegaknya kendali sipil atas militer.

Tapi pukulan dahsyat terjadi ketika Erdogan menuduh terjadi konspirasi untuk menjatuhkan pemerintahannya. Mereka adalah para jenderal yang bekerja sama dengan Geng Ergenekon, sebuah jaringan teroris bawah tanah. Akibatnya 40-an jenderal ditangkap – itu berarti sekitar 10% dari jumlah perwira militer senior negeri itu – selain sejumlah politisi sipil dan wartawan.

Semua ini bisa dilakukan Erdogan karena memang populeritasnya tinggi di mata rakyat, terutama karena keberhasilan pemerintahan sipilnya memperbaiki ekonomi negeri itu. Sementara di pihak lain, citra militer di mata rakyat terus merosot.

The Washington Institute for NearEast Policy (WINEP), sebuah lembaga tink-tank di Washington, mengungkapkan bahwa dari berbagai survei diketahui sekarang hanya sekitar 60% rakyat Turki mempercayai institusi militer. Padahal pada 2002, ketika Erdogan mulai menjadi perdana menteri, kepercayaan itu masih 90%. Artinya, sejak Erdogan dan partainya naik ke panggung kekuasaan populeritas militer pun pelan-pelan terkikis.

 Mitos bahwa militer menentukan arah politik negeri itu dan dengan gampang menjatuhkan pemerintahan yang tak disukainya, sekarang sudah luntur. Penggantinya: Turki sebagai model negara berpenduduk Muslim yang demokratis dengan perekonomian yang solid.

Dengan modal itu, seperti ditulis Christopher Torchia dari kantor berita Associated Press, Februari lalu, Turki sedang tumbuh sebagai pemimpin dan mediator regional di Timur Tengah. Malah bukan cuma Timur Tengah, tapi negara-negara berpenduduk Muslim di seluruh dunia.

Dalam kunjungan ke Mesir, Tunisia, dan Libya belum lama ini, Erdogan disambut seakan pemimpin mereka. Di Mesir, massa Ikhwanul Muslimun – organisasi Islam terbesar di sana – meneriakkan ‘’Khalifah’’ ke arahnya, mengingatkan jabatan pemimpin Islam di zaman kejayaan dulu.

Erdogan mengerti betul posisinya. Dalam lawatan itu ia mengecam keras kekejaman Israel di Palestina, selain meminta tanggung jawab negeri Yahudi itu karena menyerang kapal sipil Flotilla yang sedang menuju Gaza tahun lalu. Akibatnya 8 warga Turki (seorang di antaranya Turki-Amerika) terbunuh.

Dalam sebuah acara Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos, Switzerland, Januari 2009, Erdogan mendamprat Preesiden Israel Shimon Perez sebagai seorang yang pintar membunuh.

Sekarang Erdogan mengejek Israel sebagai anak manja Barat (the West’s spoiled child). Belum cukup. Erdogan mengancam akan mengirim armada perang untuk mengawal kapal-kapal dagangnya di Laut Mediterania.

 Turki adalah salah satu anggota NATO, Fakta Perhananan Atalantik Utara, yang melibatkan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Maka ancaman Turki kepada Israel merepotkan Amerika atau negara Eropa. Soalnya, mereka adalah pelindung Israel. Padahal sebagai sesama anggota NATO dengan Turki, menyebabkan siapa pun yang menyerang Turki adalah musuh mereka juga. 

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates