Selasa, 27 September 2011
Antara “Postmodern” dan Aurat Wanita
Oleh: Kholili Hasib
PADA hari ahad (18/09/2011), anggota Perkumpulan Pembela Hak Perempuan mengadakan aksi di Bundaran Hotel Indonesia (HI) untuk memprotes pernyataan Gubernur DKI, Fauzie Bowo, tentang himbauan tidak memakain rok mini bagi perempuan.
Pernyataan Fauzie Bowo (Foke) itu dilatarbelakangi terjadinya kasus pemerkosaan di angkot beberapa hari lalu. Ia menghimbau agar penumpang wanita tidak menggunakan pakaian mini saat berada di angkutan umum agar tidak mengundang reaksi negatif.
Pernyataan tersebut mengundang reaksi keras kaum liberal dan feminisme. Aktivis pro feminisme meyakini bahwa pakaian minim adalah hak asasi perempuan. Sehingga mereka tidak terima jika pakaian minim dikaitkan dengan penyebab pelecehan terhadap wanita
"Buat saya, memandang masalah pakaian melulu dari moral dress code (kode berpakaian) agama, itu terlalu sempit. Karena kemajuan masyarakat modern itu tercermin dalam keragaman cara berpakaian terutama di kalangan perempuan," katanya. (hidayatullah.com 22/09).
Pernyataan-pernyataan Ulil dan aktivis Perkumpulan Pembela Hak Perempuan tersebut menunjukkan mereka penganut paham yang disebut “Postmodern”. Disebut postmodern sebab filsafat postmodern dijadikan sebagai ‘akidah’-nya.
Prinsip Curiga
Islam model postmodern (posmo) ini diusung oleh pemikir Liberal asal Aljazair, Mohammed Arkoun. Penganutnya dapat disebut “Moslem Postmodernism”. Ciri khas Islam model itu adalah; kesetaraan, humanis-sekular, dualisme, anti otoritas, hukum Islam relative, anti universalisme, menolak pengetahuan non-empiris dan pluralisme.
Model-model begitu sesungguhnya telah lama bercokol di Barat. Akan tetapi dalam dunia Islam, model Islam itu mencuat setelah muncul gerakan Liberalisasi di dunia Arab.
Islam model postmo ini dikenalkan oleh Mohammed Arkoun pada sekitar tahun tujuh puluhan. Arkoun termasuk pengagum berat filsafat postmodern. Dibanding dengan tokoh liberal lainnya, ia sangat gandrung dengan epistemologi postmo.
Studi Islamnya dinamakan Islamologi Terapan (al-Islamiyyat al-Tathbiqiyyah). Dan ciri utamanya menggunakan metode dekonstruksi. Yakni dekonstruksi teologi dan dekonstruksi syari’ah.
Dalam islamologi terapan, konsep totalitas dan universalime Islam dihapus. Hak dan batil dirobohkan. Tidak ada hukum yang pasti. ‘Syari’ahnya’ adalah humanisme. Hukum Tuhan didiskualifikasi. Humanisme-sekuler diangkat menjadi otoritas penentu nilai.
Asumsinya, ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an mengandung mitos, sebagaimana kitab Injil kaya dengan mitologi. Di samping itu, hukum-hukum fikih dan tafsir dinilai bias ideologis dan politis.
Maka dari itu, “postmodern” menolak kemapanan hukum. Semua hukum Islam seolah berkepentingan menindas kaum minoritas dan lemah.
Kecurigaan berlebihan kepada mayoritas dan kaum lelaki adalah ciri khas lainnya.
Perasaan itu bersumber dari epistemologi filsafat postmodern, yaitu dekonstruksi oposisi binner. Oposisi binner, mulanya terapan linguistik strukturalis, ditolak dengan alasan memelihara konsep totalitas dan keberpihakan kepada kaum mayoritas atau pihak yang dianggap kuat.
Beginilah jika epistemologi yang diterapkan salah alamat alias salah sasaran. Linguistik post-struktrualis oleh para filsuf mulanya diterapkan dalam bidang sastra dan seni.
Linguistik post-struktrualis itu lantas oleh para cendekiawan liberal diterapkan ke dalam agama. Akibatnya, agama layaknya fenomena bahasa. Tidak ada kaitan dengan hal-hal non-empiris. Berubah-ubah, seperti halnya ejaan bahasa yang bisa berubah.
Konsep oposisi binner tersebut dianggap menimbulkan pemikiran yang berpotensi untuk menguasai. Oleh sebab itu, semua harus dibongkar (didekonstruksi) oleh mereka.
Dalam urusan pakaian, misalnya, hukum pernikahan dan hal-hal terkait lainnya, kecurigaannya selalu dialamatkan kepada lelaki.
Jika aurat lelaki lebih terbuka kenapa wanita tidak terbukan seperti laki-laki, begitu istilah mereka. Jika lelaki bebas keluar kenapa wanita dibatasi harus didampingi mahram.
Logika-logika ini adalah sesungguhnya logika kaum postmodern. Di mana pandangan hidupnya sama sekali tidak terkait dengan Tuhan. Tuhan dalam pikiran manusia dalam bahasa John Hick adalah ‘the real phenomenon’, tidak absolut.
Muhammad Syahrour, pemikir Liberal Arab lainnya asal Suriah, adalah pengusung aliran postmo yang paling getol mendekonstruksi konsep aurat wanita. Bahkan dalam teori batas minimal (nadzariyyat hudud) mengatakan bahwa batas minimal aurat wanita yang wajib ditutup adalah payudara, ketiak dan dubur-qubul saja.
Karena teologi didiskualifikasi dalam fikih, dibuang dalam epistemologi, maka “postmodern” justru jatuh kepada eksklusivisme.
Eksklusivisme itu muncul karena perjalanan akidah postmodernisme selalu berdiri secara konfrontatif dengan akidah dan hukum Islam. Kemunculannya memang sangat mencurigai doktrin agama. Kecurigaan berlebihan ini menimbulkan reaksi radikal.
Maka, ketika para pengikut ‘madzhab’ postmodern ini membela diri, mereka selalu bertindak radikal atau mengeluarkan pernyataan yang menukik agama. Dalam demo menolak himbauan memakai pakaian sopan beberap waktu lalu, aktifis Perkumpulan Pembela Hak Perempuan justru menunjukkan pakaian-pakaian minim bahkan ada yang berlebihan minimnya. Meneriakkan yel-yel menyalahkan laki-laki.
Ulil pun bersuara, ia menyebut pihak yang membela aurat muslimah diksebut kaum konservatif. Mirip komentar pengusung Postmodern, Mohammad Arkoun, yang menyebut kaum ortodok tradisionali untuk mereka yang mengusung kebenaran universal dan ketetapan hukum Islam.
Karena menolak kemapanan itu, sesungguhnya tidak ada kepastian yang diperjuangkan pengusung postmodernisme tersebut. Epistemologinya hanya mencapai tataran syakk dan spekulatif. Jika yang disebut itu liberal saat ini, maka sesungguhnya mereka bukan lagi penganut modernisme tapi postmodernisme.
Oleh sebab itu, bagaimana mungkin mengamalkan pengetahuan agama yang masih dalam tataran tidak pasti. Akan tetapi pengusung Postmodernisme tidak mempersoalkan pengetahuan agama yang tidak pasti itu, baginya kehancuran agama bukan problem, sebab semangatnya adalah humanisme-sekular.
Adalah wajar jika Ulil dan para pembela rok mini tidak mempermasalahkan aurat. Sebatas minim apapun bagi mereka bukan problem sosial. Karena memang sudah mendiskualifikasi norma hukum dalam pandangan hidup mereka. Maka dari itu, problem sosial sesungguhnya dipicu oleh ‘madzhab’ postmodern ini, sebab mereka ini adalah kelompok-kelompok yang sesungguhnya anti kemapanan.*
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Istitut Studi Islam Darussalam Gontor Ponorogo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar