Oleh: Ahmad Arif Ginting
SETAHUN ini, perpolitikan Indonesia menjadi pemandangan yang benar-benar menyebalkan, begitu istilah sebagian orang.
Bagaimana tidak, yang kita tonton di TV, hanyalah kasus-kasus suap, korupsi, kolusi yang seolah-olah tiada habisnya.
Belum sempat kita melihat penyelesaian kasus Gayus Tambunan, Century, Rekenung Gendung Polri, tiba-tiba sudah datang lagi kasus baru, dugaan suap Nazaruddin Syamsuddin. Wajarlah, jika masyarakat di lapisan bawah punya kesan negatif tersendiri terhadap wajah politik kita.
Sebegitu burukkah wajah politik? Bagaimana Islam memandang hal ini?
Dalam al Qur-an memang tidak ditemukan kata siyasah secara harfiah, tetapi para penafsir awal seperti Mujahid ketika menafsirkan rabbaniyuun (QS. Ali Imran; 79) berkata:
“Mereka (rabbaniyun) itu lebih tinggi dari pendeta-pendeta (rahib), sebab pendeta-pendeta itu adalah ulama, sedangkan rabbaniyun adalah mereka yang memadukan kedalaman ilmu dan fiqh, pandangan siyasah dan pengaturan, penegakan urusan-urusan rakyat dan apa-apa yang memperbaiki mereka dalam kehidupan dunia dan agama mereka.” (Thabary III : 325).
Birahi Berkuasa
Harus diakui bahwa praktek politik di Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini dipenuhi oleh berbagai tingkah laku yang membawa hawa nafsunya sebagai tuhannya. Inilah yang kemudian membawa sejarah kepada fenomena bahwa kebanyakan gerakan politik pada akhirnya berujung pada pemenuhan birahi, libido dan nafsu untuk memiliki kekuasaan.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah menegur gubernur Mesir karena ia akan membebani mualaf dengan beban-beban yang tidak memiliki landasan dalam ajaran Islam. Khalifah mengatakan kepada gubernur tersebut: “Jelek sekali pemikiranmu! Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad untuk memberi petunjuk bukan untuk mengumpulkan harta kekayaan !”
Cara-cara menggalang kekuatan politik diwarnai oleh kelicikan dan kekerasan sehingga fenomena pembunuhan terhadap pimpinan negara menjadi sangat biasa terjadi dalam panggung sejarah. Para penguasa berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara, sebaliknya para pencari kekuasaan juga berusaha merebut kekuasaan dengan segala cara.
Di dunia politik biasa pula terdengar pula ungkapan “power tends to corrupt”, kekuasaan itu cenderung membuat manusia berlaku culas, curang, menghimpun kekayaan dengan melanggar berbagai aturan dan kesepakatan. Dalam pembahasan-pembahasan politik muncul pula istilah “machievelis” untuk menunjuk kepada politik dengan berbagai dimensi kekotorannya.
Akibat dari kesan besar ini tidak sedikit dari kita yang alergi politik, kemudian menjauhkan kehidupan politik seraya menatap rendah orang-orang yang terjun ke dalam dunia politik.
Jika seorang ulama terjun ke dunia politik seolah-olah ia telah menanggalkan keulamaannya dan bahkan ummatnya. Bahkan beberapa kelompok gerakan Islam mengharamkan seluruh aktivitas politik dan mereka cenderung mengkhususkan diri terjun ke dunia yang disebutnya sebagai dunia “sosial” atau hanya akan mengurusi dunia “dakwah (dalam pengertian yang sempit)” semata.
Menghindari politik, dalam berbagai maknanya, adalah sebuah kesalahan besar. Syeikh Musthafa Masyhur dengan tegas mengatakan: “Salah satu kewajiban kita adalah mengingatkan betapa besarnya dosa – terhadap Islam – yang diperbuat oleh sekelompok orang yang tampil dan bergerak di bidang da’wah, mengemukakan satu aspek saja dari Islam, dan melupakan aspek lainnya dengan sengaja atau tidak, karena kebodohannya terhadap karakteristik Islam atau karena mengelakkan tekanan dari pihak penguasa, atau memang mereka berniat jahat.
Perbuatan semacam itu pada umumnya dilakukan oleh beberapa kelompok kaum muslimin yang telah menjadi boneka kuffar dan musuh-musuh Islam”.
Politik Berakhlak bukan Utopia
Tidak sedikit orang yang merasa pesimistik atau bahkan skeptis bahwa akhlaq Islam dapat dioperasionalisasikan dalam dunia politik karena budaya politik yang berkembang telah sedemikian rupa buruknya. Mereka menyatakan bagaimanakah akhlaq politik Islam dapat diterapkan jika sistem yang mendasari politik dalam suatu negara saja sudah (dianggap) bertentangan dengan ajaran Islam, seperti sistem demokrasi yang berasal dari masyarakat Barat yang sekuler?
Bagaimanakah akhlaq Islam akan dapat diwujudkan dalam politik apabila aturan-aturan mainnya saja ditentukan oleh mereka yang tidak menghargai bahkan memusuhi ajaran Islam?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, Dr. Hidayat Nur Wahid, mantan Ketua MPR RI periode 2004-2009 lalu, telah menguraikan empat jawaban yang mendasar.
Pertama, Rasulullah SAW sendiri memulai dakwahnya dengan terjun dan berinteraksi langsung dengan masyarakat Quraisy jahiliyah yang jelas-jelas segala aturannya tidak didasarkan pada nilai-nilai ajaran Allah SWT.
Memang masih tertinggal beberapa ajaran dari Nabi Ibarahim di Makkah, tetapi telah terkontaminasi oleh ajaran jahiliyah bangsa Quraisy yang kembali menyembah berhala. Dalam fase Makkiyah yang berlangsung selama dua belas tahun Rasulullah SAW dapat menunjukkan citra dirinya sebagai seorang muslim sehingga, meskipun terdapat permusuhan yang keras, orang-orang kafir Quraisy tetap menghargai dan mengakui kepribadian beliau yang baik.
Kedua, pada kenyataannya politik Islam sepanjang sejarah telah berlangsung sebagian besarnya dalam kondisi yang tidak ideal, kecuali hanya pada masa Rasulullah SAW dan khalifah yang empat. Sisanya kehidupan masyarakat Islam telah mengalami pergeseran sedikit demi sedikit, mulai dari bangkitnya bentuk monarki dalam negara khilafah sampai hancurnya khilafah Abbasiyah dan negeri-negeri muslim hidup dalam gejolak tekanan kaum Mongol.
Idealitas sebuah bangunan negara dan masyarakat Islam juga tidak terwujud dalam khilafah Utsmaniyah yang berlangsung selama tujuh abad. Namun demikian bukan berarti kaum muslimin secara sempurna tidak dapat berinteraksi dengan keadaan tersebut dengan akhlaq Islaminya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz diakui sebagai pemimpin yang memiliki akhlaq yang tinggi di tengah kerajaannya yang bergitu besar. Bahkan para ulama mazhab yang besar, rata-rata hidup dalam zaman tersebut tidak sedikit yang berpartisipasi dalam pemerintahan.
Ketiga, pada masa Rasulullah SAW pun terdapat beberapa gelintir orang yang tidak mau dan tidak mampu mengaplikasikan akhlaq Islam dalam kehidupan politiknya terutama orang-orang munafiq yang hatinya telah sakit. Beberapa orang telah lalai menjalankan politik Islam karena tidak mampu membendung nafsu dirinya, meskipun kemudian ia menyadarinya dan menyesalinya.
Contoh, kasus salah seorang sahabat (Usamah) yang membunuh seorang dari kelompok musuh padahal ketika sebelum terbunuh ia membaca dua kalimah syahadah sebagai pengakuannya kepada Islam. Usamah kemudian menyesali perbuatannya itu setelah ia mendapat teguran yang keras dari Rasulullah SAW.
Jadi, tergelincirnya seorang muslim dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas berpolitiknya mungkin saja terjadi, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Tetapi hal ini bukan sebuah cerminan bahwa operasionalisasi akhlaq Islam dalam politik adalah sebuah hal yang utopis.
Keempat, tidak semua sistem yang berasal dari luar Islam sama persis dalam keburukan maupun kekotorannya, sehingga dalam batas-batas tertentu tetap memungkinkan kaum muslimin berinteraksi di dalamnya tanpa menanggalkan akhlaq Islam.
Dalam kaitan ini ada sementara pihak yang bertindak kurang seksama dan berlaku apriori terhadap sistem demokrasi. Mereka menuduh jika ada kelompok masyarakat muslim melakukan pemilihan untuk jabatan-jabatan tertentu, maka mereka menyatakan bahwa kelompok masyarakat muslim itu telah keracunan demokrasi.
Padahal prinsip pemilihan itu sendiri telah menjadi sebuah paradigma dalam kehidupan politik kaum muslimin jauh sebelum sistem deokrasi modern ini dikembangkan.
Syeikh Yusuf Qaradhawi juga pernah menyatakan:
“Tidak ada salahnya kita mengadopsi berbagai metode dan mekanisme yang cocok dengan kita. Kita berhak melakukan perubahan dan penyesuaian. Namun kita tidak akan mengadopsi falsafahnya yang mungkin saja menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal atau menggugurkan yang wajib.”
Lebih jauh Al Qaradhawi menjelaskan, “Al Qur’an telah mengungkap persekongkolan jahat tiga jenis manusia jahat dengan tipe masing-masing agar kita bisa mengantisipasinya dan tidak terperangkap dalam jebarak mereka.
Pertama, penguasa yang berlagak sebagai tuhan dan bertindak sewenang-wenang di bumi Allah serta menindas hamba-hambaNya. Ini diperankan oleh Fir’aun.
Kedua, politikus opurtunis yang mempergunakan kepandaian dan kecerdasannya untuk mengabdi kepada penguasa tiran dan mengukuhkan kekuasaannya serta menindas rakyat untuk tunduk kepadanya. Hal ini diperankan oleh Hamam.
Ketiga, konglomerat atau kapitalis yang memanfaatkan kekuasaan tiran dengan mendukung dan menyuplai dana segar agar dapat memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya dari keringat dan darah rakyat. Ini diperankan oleh Qarun. (Fatawi Mu’ashirah, jld. 2; 1988)
Dalam sebuah bangsa yang keran demokrasinya mulai dibuka dan perubahan menjadi sebuah keniscayaan politik, tampaknya interaksi gerakan Islam dengan politik formal dapat dimungkinkan dengan sebuah keyakinan bahwa akhlaq politik Islam dapat dioperasionalisasikan. Keberhasilan operasionalisasi akhlaq Islam tersebut memang sangat tergantung pada komitmen seseorang atau komunitas gerakan Islam terhadap nilai-nilai yang menjadi visi dan misinya.
Sebagian atau mungkin juga sebagian besar dari mereka mungkin saja menyimpang tingkah laku politiknya sebagaimana kasus-kasus penyimpangan pada beberapa muslimin juga terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Harus diakui pula bahwa lingkungan politik yang merupakan kenyataan pada saat ini masih jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri sehingga lebih mendorong para politikus untuk berbuat hal-hal yang tidak diridlai Allah SWT.
Namun, sekali lagi, kondisi itu tidak bisa menjadi pembenar bahwa operasionalisasi akhlaq Islam dalam politik adalah sebuah hal yang utopis. Wallahu a’lam.
Penulis adalah mantan pengurus pusat IMAPA (Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh) Jakarta, berkhidmah di Qatar Charity Indonesia Cabang Aceh
0 komentar:
Posting Komentar