Jumat, 16 September 2011

Membangun Pendidikan Karakter

Membangun Pendidikan Karakter; Upaya Memperkuat Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia*

oleh: Utomo Dananjaya


Nyonya Siami bersama anaknya Alif, menjadi bagian dari perilaku tindak kecurangan dalam ujian nasional, merasa gundah, Ia ingin kecurangan itu dibongkar dengan melaporkannya kepada penguasa. Ia tidak terima anaknya, berlaku curang. Tak disangka, masyarakat memprotes dan jengkel atas tindakan itu, yang bisa mengancam ketidak lulusan anak-anaknya dan mengorbankan kepala sekolah dan guru yang telah merencanakan aktivitas: menyontek masal di SDN Gadel II.

Menteri Pendidikan Nasional menghargai aktivitas Ibu Siami, tetapi berdasarkan hasil investigasi (anak buahnya), menyimpulkan, bahwa nyontek masal itu tidak terjadi. Dari 60 jawaban siswa, jawaban yang dibuat tidak menunjukan persamaan secara tersirat. Ia lebih memihak pada warga Desa Gadel yang mengusir Ibu Siami, walaupun Walikota Surabaya telah menindak kepala sekolah yang melarang guru memimpin dan mempersiapkan nyontek masal.

Masyarakat yang buruk, memerlukan sistem pendidikan yang menjamin anak-anak muda menyesuaikan dengan lingkungan sosial yang sudah ada. Tercapainya cita-cita masyarakat, ketika mampu membuat kaum muda jadi manusia-masusia buruk. Hanya manusia buruklah yang bisa hidup serasi dengan sistem yang buruk (Freire, dkk, 109/2006). Dalam ranah pragmatis, jika persoalan pendidikan menuju keberhasilan dalam masyarakat, maka penyontekan masal tidak dianggap menanamkan kerjasama solidaritas antar peserta didik, Sehingga, sistem menyontek masal dianggap sebagai sistem yang baik. Ibu Siami dan Alif yang diusung sebagai bintang kejujuran, tidak sesuai dengan sikap masyarakat dan korban kepala sekolah dan guru yang diturunkan pangkatnya.

Mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef menilai, saat ini terjadi “penghianatan intelektual”. Kaum intelektual (kaum terdidik) sebenarnya tahu sedang terjadi penghancuran moral dikalangan birokrasi pemerintahan, penegak hukum, dan masyarakat, tetapi mereka diam saja. Padahal intelektual semestinya mencerahkan masyarakat. (Kompas, 21/6).

Ratna Megawangi, pendiri sekolah yang menekankan kejujuran, mengatakan, pendidikan karakter menjadi kunci untuk memperbaiki keadaan bangsa ini. Kementerian Pendidikan Nasional, kata Daoed Joesoef, harus mendesain ulang konsep pendidikan yang harus menekankan pada pendidikan karakter. (Kompas, 21/6).

Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar, menghentikan EBTANAS setelah dilakukan 20 tahun. Tetapi, atas desakan Menteri Kesejahteraan Rakyat, Jusuf Kalla, diselenggarakan Ujian Akhir Nasional, beliau berpendapat bahwa ujian nasional diperlukan untuk mendorong siswa bekerja keras dan memilah kelompok siswa yang pandai lulus ujian dan kelompok yang bodoh-lah yang tidak lulus ujian. Menteri Kesejahteraan Sosial, Aburizal Bakrie, berpendapat bahwa kegagalan adalah hal yang wajar dalam setiap ujian, dan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo, mengatakan, peserta didik yang malas-lah yang tidak lulus ujian. Menjawab pendapat yang tidak setuju dengan Ujian Nasional, Muhammad Nuh, menjawab bahwa ujian nasional sudah diselenggarakan bertahun-tahun sebelumnya.

Sistem Ujian Nasional

Surat Keputusan Kementerian Pendidikan no. 34 tahun 2007, mengumpulkan macam-macam tujuan evaluasi yang akan digunakan sebagai pertimbangan penentu potret pendidikan, menyaring siswa ke jenjang berikutnya, memutuskan kelulusan siswa, dan mengatur-mengakomodir unit pendidikan untuk peningkatan kualitas pendidikan, yang kemudian diterjemahkan dengan Ujian Nasional (UN). Keputusan ini, menyimpang dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003, terutama Pasal 57 tentang evaluasi, evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dan Pasal 58, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Dua macam evaluasi tersebut berbeda tujuan dan berbeda penyelenggara. Kebiasaan menterjemahkan, menyimpang dari visi pendidikan.

Kesimpulan pemotretan kurikulum 1994, menyimpulkan bahwa, perubahan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat yang dipacu oleh krisis yang melanda Indonesia menyebabkan penyempurnaan Kurikulum 1994 menjadi suatu keharusan. Penyempurnaan kurikulum 1994 tidak dapat diselesaikan hanya dengan melipatgandakan penggunaan cara-cara dan paradigma lama. Penyempurnaan harus diselesaikan menggunakan cara-cara dan wawasan baru, yaitu perubahan paradigma.

Penggantian kurikulum didahului oleh identifikasi basic competencies. Basic competencies ini dapat dicari pada tujuan pendidikan yakni Rencana Jangka Panjang Undang-undang no. 17 tahun 2007 dan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003. Identifikasi kemampuan dasar (basic competencies) setiap mata pelajaran tertentu dan pada jenjang pendidikan tertentu. Kedua tujuan ini mengutamakan pendidikan karakter yang mewujudkan karakter bangsa. Identifikasi basic competencis ditemukan oleh Balitbang Depdikbud pada tahun 1999. Dalam pemetaan kurikulum 1994, hampir semua mata pelajaran berbasis materi, kecuali mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. (Balitbang Depdikbud, iii/1999).

Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 diberi nama Standar Nasional Pendidikan, maka standar isi pendidikan berdasarkan perumusan kompetensi dasar mata pelajaran dan kompetensi kelulusan bukan kompetensi dasar pendidikan. Inilah penyimpangan dari tujuan Undang-undang Sistem Pendidikan no. 20 tahun 2003 maupun Rencana Jangka Panjang Undang-undang no. 17 tahun 2007, di samping menyimpang dari kedua Undang-undang di atas, standarisasi pendidikan dianggap menyimpang dari pendidikan progresif, perbedaan-perbedaan individual lebih penting ketimbang kesamaan-kesamaan individual, dan perbedaan-perbedaan itu bersifat menentukan dalam penetapan program-program pendidikan.(O’niel, 474/2008). Dosa Ujian nasional dalam pandangan Progresif adalah Ujian Nasional wujud daripada prinsip semua anak didik mempunyai potensi yang sama, untuk mengevaluasinya diperlukan suatu sistem Ujian Nasional bagi seluruh Indonesia yang berbeda-beda, 3 atau 4 mata pelajaran pada waktu yang sama padahal Indonesia terdiri dari tiga daerah waktu.

Pendidikan Karakter

Perumusan kompetensi dasar dan kompetensi kelulusan dalam standar isi pendidikan, tidak menampung kompetensi karakter dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 dan Undang-undang no. 17 tahun 2007.

Undang-undang Sisdiknas no. 20 tahun 2003 pasal 3: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 (Undang-undang Republik Indonesia no. 17 tahun 2007), menjelaskan tujuan pendidikan “terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan petilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragama, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi iptek.”

Bila disarikan, karakter tersebut difokuskan kepada tiga tataran besar, yaitu: Pertama, untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa. Kedua, untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Ketiga, untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat.

Dasar pendidikan karakter mengubah pengertian pendidikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan yang berbunyi: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” (Bab 1, Pasal 1, Ayat 1 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003).

Pengertian ini berubah dari pengertian Undang-undang Sistem Pendidikan no. 2 tahun 1989, yang berbunyi: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”. Jadi pendidikan bukan kegiatan bimbingan dan latihan tetapi mewujudkan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.

Suasana belajar di SD dan SMP memperlihatkan: guru bicara dan biasanya menulis; murid mendengarkan secara pasif; dan tanya jawab jika ada waktu sisa. (Beeby, 83/1987). Suasana semacam inilah yang telah berlaku berpuluh tahun lamanya yang menuntut perubahan dengan proses merubah pengertian pendidikan menjadi proses pembelajaran siswa aktif.

Diperlukan perubahan paradigma pendidikan menjadi paradigma pembelajaran aktif dengan ciri-ciri pendidikan sebagai berikut:

 Menganggap bahwa pengetahuan terutama berfungsi sebagai sebuah alat untuk digunakan dalam pemecahan masalah secara praktis, bahwa pengetahuan adalah sebuah jalan kearah tujuan berupa perilaku efektif dalam menangani situasi-situasi sehari-hari.

 Menekankan kepribadian unik dalam diri tiap individu, atau ketunggalan (singularitas) setiap pribadi sebagai sebuah pribadi.

 Menekankan pemikiran efektif (kecerdasan praktis), mengarahkan perhatian utamanya kepada kemampuan setiap individu untuk menyelesaikan persoalan- personalnya sendiri secara efektif.

 Memandang pendidikan sebagai perkembangan dari keefektifan personal.

 Memusatkan perhatian kepada tatacara-tatacara pemecahan masalah secara individual maupun berkelompok, menekankan situasi sekarang dan masa depan yang dekat sebagaimana dipahami berdasarkan kebutuhan-kebutuhan serta problema-problema individual yang ada.

 Menekankan perubahan sosial secara tak langsung, melalui perkembangan kemampuan tiap orang berperilaku praktis dan efektif, dalam mengejar sasaran-sasaran personalnya sendiri; menekankan perubahan-perubahan berskala kecil yang terus-menerus/berkelanjutan, di dalam sebuah situasi yang pada umumnya stabil.

 Berdasarkan kepada sebuah sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional) dan/atau prakiraan-prakiraan yang sesuai dengan sistem penyelidikan itu.

 Didirikan di atas tatacara-tatacara pembuktian secara ilmiah-rasional.

 Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi terletak pada pengetahuan yang diperoleh dari pembuktian eksperimental dan/atau tatacara-tatacara pengambilan keputusan secara demokratis. (O’niel, 456/2008)

Kesimpulan 
1. Penyelenggaraan Ujian Nasional melahirkan upaya-upaya kecurangan, oleh karena itu, dikembalikan kepada pedoman pasal 57 dan 58 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2007. 

2. Pendidikan karakter, berpedoman kepada dua Undang-undang yakni: Undang-undang No. 20 tahun 2003 dan Undang-undang No. 17 tahun 2005. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 dan Surat Keputusan Menteri no. 34 tahun 2007, bertentangan atau menafsirkan secara keliru Undang-undang tersebut, harus diperbaharui. Pendidikan karakter harus dilaksanakan dengan mewujudkan proses pembelajaran siswa aktif, sehingga peserta didik aktif mengembangkan potensinya sendiri. 

3. Kemampuan guru, harus berubah berdasarkan teori dan konsep pendidikan progresif.

4. Tiga prinsip reformasi pendidikan:
- Perubahan paradigma dari model pengajaran menjadi pembelajaran
- Perubahan paradigma dari manusia pekerja menjadi manusia beradab.
- Integrasi kultural peserta didik.

 

Referensi

Beeby, C.E. Pendidikan Di Indonesia; Penilaian dan Pedoman Perencanaan. (LP3ES: Jakarta, 1987).
Boediono, dkk (Ed). Potret Kurikulum 1994. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan: Jakarta, 1999).
Freire, Paulo. Dkk. Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, dan Anarkis. (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006).
Guza, SS Afnil. Standar Nasional Pendidikan (SNP). (Penerbit Asa Mandiri: Jakarta, 2008).
Kompas, 21 Juni 2011. Karakter Bangsa; Perbaikan Moral Mendesak di Semua Lini.
O’Neil, William F. Ideologi-ideologi Pendidikan. (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008).
Suryadi, Karim. Dkk (Ed) Potret Profesionalisme Guru dalam Membangun Karakter Bangsa; Pengalaman Indonesia dan Malaysia. (UPI Press: Bandung, 2010).
Tim Redaksi Nuansa Aulia. Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia tentang Sistem pendidikan Nasional. (Nuansa Aulia: Bandung, 2008).


sumber: http://utomodananjaya.blogspot.com/2011/09/membangun-pendidikan-karakter-upaya.html?spref=fb

0 komentar:

Posting Komentar