Rabu, 28 September 2011

The Way We Were




|


Oleh: Muhaimin Iqbal   


TANGGALNYA adalah 29-30 April tahun 711 ketika pasukan Tariq bin Ziyad mendarat di Jabal Tariq (lebih dikenal dengan Gibraltar) yang kemudian mengawali sejarah panjang 781 tahun Islam berkuasa di (sebagian) Eropa (711-1492).

Inspirasi dari penaklukan mereka ini sudah pernah saya tulis di situs ini dalam judul “…Membakar Kapal…” , tetapi ada sisi lain yang nyaris tidak pernah diungkap dalam sejarah – yang justru dampaknya terbawa dalam kemajuan peradaban dunia hingga kini.

Sisi lain ini adalah logistik militer, kemajuan dibidang logistik militer yang dibawa oleh peradapan Islam di Eropa selama 781 tahun inilah  yang hingga kini dinikmati dunia barat khususnya Amerika dalam bentuk kemajuan industri pertanian dan peternakannya.
Mungkin Anda bertanya: “Kok bisa?, begitu jauh banget pengaruhnya …?.  Tetapi inilah sejarah itu.

Dalam setiap penaklukan, kedudukan logistik adalah vital untuk menentukan apakah suatu peperangan akan dilakukan atau tidak, bahkan sebelum suatu pasukan bergerak maju – bagian logistik ini sudah harus dipikirkan lebih dahulu. Diantara daftar kelas logistik yang sangat penting selain makanan, pakaian dan senjata adalah bahan bakar. Bayangkan apa jadinya bila bahan bakar ini tidak tersedia dengan cukup, maka tank-tank tidak bisa bergerak, pasukan tidak bisa patroli, pesawat tempur tidak bisa terbang dlsb. dlsb.

Itu peperangan di masa kini, tetapi bagaimana peperangan dilakukan di jamannya Tariq bin Ziyad?

Saat itu mobilitas pasukan di darat utamanya digerakkan dengan kuda, dan bahan bakar untuk kendaraan-kendaraan berupa kuda ini tidak lain adalah pakan ternak. Tanpa adanya ‘bahan bakar’ rerumputan yang bergizi tinggi kuda-kuda perang akan loyo, maka keunggulan pasukan di jaman itu juga ikut dipengaruhi oleh ketersediaan logistik berupa rumput bergizi tinggi ini.

Karena peperangan menjangkau daerah yang sangat luas dengan waktu yang sangat lama - dari puluhan tahun sampai ratusan tahun – maka logistik berupa rumput untuk ‘bahan bakar’ ini juga harus bisa dihasilkan di daerah-daerah yang strategis yang sudah dikuasai oleh pasukan Islam. Rumput yang ditanam-pun juga bukan sembarang rumput, bila yang ditanam rumput yang biasa-biasa – maka akan dibutuhkan areal yang sangat luas untuk menanamnya dan kuda perang-pun tidak bisa tumbuh perkasa.

Maka bagian logistik dari pasukan Islam saat itu sudah mengenal rerumputan bergizi tinggi yang sangat efektif untuk menumbuhkan kuda, tanaman bergizi tinggi inilah yang disebut alfalfa. Karena penguasaan Islam yang begitu lama khususnya di Spanyol, tentu kepandaian bercocok tanam alfalfa ini juga kemudian  menular ke bangsa Spanyol.

Ketika 800 tahun kemudian panglima perang Spanyol Hernando Cortez menaklukkan bangsa Aztecs di Mexico, bukan hanya strategi membakar kapalnya yang ia jiplak mentah-mentah dari strategi Tariq bin Ziyad – tetapi juga strategi membangun kekuatan logistik pasukan berkudanya dengan tanaman yang sama dengan yang diperkenalkan oleh peradaban Islam yang mendominasi negeri asalnya – Spanyol selama 781 tahun !.

Berawal dari peradaban Islam yang sudah maju lebih dahulu, kemudian dibawa ke Spanyol, kemudian dari Spanyol di bawa ke benua Amerika inilah nutritious plants (terjemahan al-Qur’an bahasa Inggris Yusuf Ali untuk “qadhban” QS: 80:28) yang oleh Prof. Dr. Zagloul Al Najjar di tafsirkan sebagai alfalfa ini masuk ke benua itu dan sangat maju terutamanya di Amerika Serikat hingga kini.

Dari mana kita bisa membuktikan bahwa alfalfa yang merupakan produk pertanian terbesar ke 3 di Amerika setelah jagung dan kedelai ini berasal dari dunia Islam?

Yang paling mudah adalah dari sisi bahasa! Karena peradaban Islam yang berkembang hampir 8 abad di Spanyol, maka banyak sekali kata atau nama-nama yang berasal dari Islam – termasuk diantaranya ya alfalfa ini.

Dalam bahasa Spanyol maupun dalam bahasa Inggris  hingga kini tidak ada kata lain yang searti  alfalfa, satu-satunya ya kata untuk nama tanaman bergizi tinggi (nutritious plants) yang dibawa dari dunia Islam 14 abad lalu itu.

Maka dari nama ini tidak bisa disangkal lagi bahwa kekuatan produk pertanian terbesar ke 3 di Amerika tersebut bisa di runut secara meyakinkan adalah berasal dari peradaban Islam di masa lampau.

Jadi dahulu kita pernah berjaya secara militer, ekonomi sampai ke pertanian dan peternakan – bahkan dua yang terakhir ini masih menyisakan ‘nama’-nya di benua lain hingga kini; maka bila kita sungguh-sungguh kembali ke tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits – insyaallah kitapun akan bisa mengembalikan kejayaan itu di masa-masa yang akan datang.

Yang kita perlukan sebenarnya hanyalah mencontoh, pertama dan yang utama tentu mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kemudian para sahabat beliau dan kemudian juga generasi-generasi sesudahnya yang membawa kepada kejayaan Islam termasuk generasinya Tariq bin Ziyad tersebut di atas.

Kita tinggal mencontoh bagaimana umat ini melakukannya di masa lampau, the way we were…InsyaAllah !.


Bayangkan suasana batinnya ketika pada tahun 1492 Christopher Columbus memulai perjalannya menyeberangi Atlantic, saat itu ekspedisi dia ini disponsori oleh Ratu Isabella yang pada tahun tersebut baru saja berhasil menguasai Granada – wilayah Islam terakhir di tanah Spanyol.
Maka tidak heran bila  Columbus di awal catatan perjalanannya menulis “…Your Highnesses, as Catholic Christians, and princes who love and promote the holy Christian faith, and are enemies of the doctrine of Mahomet…”. 
Bayangkan pula  bila jauh-jauh berlayar dalam upaya menemukan benua baru, Columbus menemukan bahwa orang-orang Islam yang dibencinya ternyata lebih dahulu sampai ke benua tersebut?

Tentu dia tidak ingin membuat ratu Isabella yang mensponsorinya gusar dengan mengabarkan bahwa orang-orang Islam ternyata sudah lebih dahulu sampai di benua baru yang di klaim sebagai temuannya.
Maka temuan Columbus atas adanya Muslim di benua tersebut hanya muncul di catatan harian pribadinya saja, bahwa pada tanggal 21 October 1492 ketika mendekati Gibara di timur laut pantai Cuba dia melihat ada masjid di bukit yang indah.
Perlu diingat, bahwa sepanjang ratusan tahun budaya Islam sudah mendominasi Spanyol dan sebagian Eropa – jadi Columbus tahu persis apa yang disebutnya masjid itu – bukan sekedar bangunan yang mirip masjid – yang coba dibelokkan oleh para sejarawan barat.
Bahkan Columbus juga menyebut orang-orang Caribbean yang ditemuinya sebagai “Mohemmedans” – pengikut Muhammad  - lagi-lagi karena Columbus paham seperti apa pengikut Muhammad itu!

Tetapi begitulah, realita sejarah bisa dengan mudah tenggelam oleh kepentingan politik agama yang diberlakukan dengan ekstrim oleh Ratu Isabella yang mensponsori Columbus.
Sehingga untuk berabad-abad kemudian di klaim-lah oleh mereka ini bahwa merekalah yang menemukan benua baru Amerika – meskipun bukti-bukti sejarah kemudian mulai bermunculan dan klaim mereka mulai diragukan.

Di antara bukti-bukti sejarah ini diungkap oleh seorang Arkheolog dan ahli bahasa Hardvard University kelahiran New Zealand – DR. Barry Fell.  Beliau inilah yang mengungkapkan temuan adanya tulisan berupa text, diagram dan chart di batu yang dia temukan di Amerika bertuliskan huruf Arab kuffic. 
Batu yang dipahat untuk tujuan pembelajaran dibidang matematika, geography, sejarah, astronomi dan navigasi laut ini – diyakininya dibuat antara tahun 700-800 Masehi, sekitar abad ke 2 – 3 Hijriyah – atau sekitar 8 abad sebelum Columbus menginjakkan kakinya di benua baru yang diklaimnya.

Lantas apa kepentingannya kita belajar sejarah demikian? Begitu banyak ayat-ayat al-Qur’an yang isinya tentang sejarah maupun yang memerintahkan kita untuk belajar dari sejarah. Melaui sejarah – yang benar , yang tidak dibelokkan - inilah kita bisa mengetahui pencapaian-pencapaian umat ini di masa lampau dan juga kegagalan-kegagalannya.

Bila dahulu umat ini menjadi penemu daerah-daerah baru, ilmu-ilmu baru dari matematika, kedokteran, astronomi, pertanian, keuangan dan tidak terhitung banyaknya temuan lainnya;  maka sudah sepantasnya-lah umat yang hidup di jaman ini juga mencita-citakan pencapaian  yang sama. Lantas darimana kita akan memulainya?
Menurut saya tidak ada cara lain kecuali kita kembali ke sumber segala ilmu, “…petunjuk bagi manusia dan penjelasan atas petunjuk-petunjuk tersebut …” (QS: al-Baqarah: 185).

Untuk mengawali cita-cita besar tersebut, lebih dari sebulan lalu kami ‘mencangkok’ proses penyiapan generasi Qur’ani kedepan dengan Madrasah al-Qur’an Daarul Muttaqiin, insyaAllah besuk kami akan mulai lagi kelas baru yang kami sebut Madrasah al-Qur’an Lil-Inaats (Pesantren Putri).
Mereka inilah nantinya yang insyaAllah akan melahirkan generasi cucu-cucu kita yang akrab dengan Al-Qur’an (karena ibunya hafidzah yang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an setiap saat) semenjak mereka di kandungan, ketika di buaian dan di usia-usia awal yang sangat penting dalam membentuk karakternya.

Dahulu kita berjaya dengan al-Qur’an, maka dengan kembali kepada al-Qur’an inilah insyaAllah kita akan berjaya kembali.InsyaAllah.


Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com dan Direktur Gerai  Dinar

0 komentar:

Posting Komentar